Ahad 15 Mar 2015 14:02 WIB

Tahun Kenaikan

Arif Supriyono
Foto: dok pribadi
Arif Supriyono

Oleh: Arif Supriyono

Wartawan Republika

Harapan masyarat yang menggunung itu perlahan mulai luruh. Kekhawatiran dan rasa cemas kembali menggelayut di pundak mereka.

Impitan kehidupan yang dirasakan rakyat justru kian berat. Tak sampai sebulan setelah Joko Widodo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Rp 2.000 untuk jenis premium dan solar. Harga premium pun berubah menjadi Rp 8.500 per liter. Sedangkan solar menjadi Rp 7.500 per liter.

Dalam waktu yang bersamaan, harga kebutuhan pokok pun terdongkrak. Ini merupakan hal yang biasa terjadi. Setiap terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak, dengan sendirinya akan diikuti lonjakan harga lainnya sebagai dampak ganda yang ditimbulkan dari perubahan harga komoditas vital tersebut.

Harga BBM memang sempat turun, seiring dengan penurunan harga minyak dunia yang terjadi sejak beberapa bulan lalu. Meski begitu, harga barang dan jasa ternyata tak bisa turun sebagaimana tarif sebelumnya. Artinya, beban hidup masyarakat tetap saja makin berat.

Tak lama berselang, pemerintah juga memutuskan untuk ‘meniadakan’ tarif murah di sektor penerbangan. Walau banyak pihak menilai, bahwa tak ada kaitan antara tarif murah dengan keselamatan penerbangan, toh pemerintah tetap pada keputusannya untuk menolak tarif murah transportasi udara.

Hal serupa terjadi dengan tarif kereta api. Pemerintah mencabut subsidi untuk tiket kelas ekonomi. Di samping itu, tiket nonekonomi juga mengalami lonjakan drastis. Malahan, ada tiket KA yang mengalami kenaikan sekitar 400 persen atau empat kali lipat.

LPG (liquefied petroleum gas) yang kini menjadi bahan bakar utama untuk kebutuhan rumah tangga, ternyata ikut tergoda harganya dan naik. Sejak awal Januari lalu, harga LPG naik sekitar Rp 1.500 per kg.

Untuk tabung gas LPG ukuran 3 kg yang mendapat subsidi dari pemerintah pun naik dengan sendirinya. Bila semula harganya sekitar Rp 14.000, kini berubah menjadi Rp 18.000. Belum lagi terdengar kabar, bahwa pemerintah hendak mencabut subsidi untuk LPG ukuran 3 kg.

Apa pun dalihnya, setiap bentuk kenaikan harga harus dianggap sebagai tambahan beban bagi masyarakat. Apalagi jika kenaikan itu menyentuh segala aspek kebutuhan hidup bagi masyarakat kecil. Karena itu, rencana menaikkan harga mestinya merupakan pilihan terakhir.

Kenaikan baru bisa dilakukan jika memang tak ada lagi cara yang bisa ditempuh oleh pemerintah sebagai pihak penjual jasa atau penentu harga. Sepanjang ada cara lain yang bisa ditempuh untuk melakukan penghematan, maka itulah yang harus dilakukan dan bukan dengan menaikkan harga.

Di tengah beban berat ini, masyarakat juga dikejutkan dengan rencana pemerintah untuk mewajibkan penggunaan meterai Rp 3.000 untuk setiap pembelanjaan di atas Rp 250.000. Tentu rencana ini akan makin memberatkan --terutama kaum ibu-- yang memang terbiasa berbelanja.

Beban lain menghantam tatkala tiba-tiba harga beras terkerek naik. Padahal, tak ada wilayah penghasil beras yang mengalami gagal panen. Beberapa komoditas kebutuhan pokok lain juga ikut melambung walau tak ada kenaikan harga BBM.

Rencana lain yang membebani masyarakat adalah dengan akan diberlakukannya PPN (pajak pertambahan nilai) sebesar 10 persen bagi pengguna tol. Ini tentu memberatkan. Tol adalah bea masuk yang dikenakan bagi pengguna kendaraan di jalan tertentu. Ternyata, bea masuk pun masih dikenakan pajak pula.

Pada sisi lain, pemerintah masih begitu toleran terhadap pemberian keringanan atau restitusi pajak bagi pengusaha besar. Bahkan bisa dibilang, hampir seluruh wajib pajak perusahaan besar selalu minta keringanan. Di sisi lain, bidikan beban pendapatan pajak itu justru diarahkan pada kalangan masyarakat luas yang tentu saja hampir semuanya bukan pengusaha besar.

Dalam situasi melambungnya harga-harga ini, pukulan lain datang menghantam masyarakat. Nilai tukar rupiah terus melemah. Saat ini satu dolar AS setara dengan Rp 13.250. Nilai tukar rupiah ini merupakan yang terendah sejak tahun 1998.

Anehnya, pemerintah begitu cuek menanggapi pelemahan rupiah yang sudah pasti berdampak pada harga barang dan jasa. Presiden merasa tak khawatir dan karena itu tak memberi instruksi khusus bagi jajaran kabinetnya. Justru presiden masih terus melakukan tebar pesona dengan membagi-bagikan uang Rp 100.000-an pada warga saat berkunjung ke Ngawi, Jatim. Rasanya tak pantas cara ini dilakukan Jokowi yang telah menjadi presiden.

Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro pun mengutarakan pelemahan rupiah ini membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus. Pada suatu kesempatan, Bambang menyebutkan, setiap pelemahan rupiah terhadap dolar AS sekitar Rp 100, maka APBN akan surplus sekitar Rp 2,3 triliun.

Apakah ini berarti, dengan kata lain, pemerintah lebih memilih agar rupiah terus melemah, supaya surplus anggaran kian menggelembung? Sungguh sangat disayangkan kalau ini yang terjadi.

Pendapat menkeu ini mengesankan, seolah pemerintah tak mau memikirkan beban yang dihadapi masyarakat. Biarkan masyarakat menderita, yang penting pemerintah bisa untung. Sungguh sebuah komunikasi yang tak elok bagi seorang pejabat terhadap masyarakat.

Ini seperti menegaskan, bahwa urusan masyarakat biar rakyat sendiri yang mengatasi. Sebaliknya, pemerintah pun punya urusan sendiri. Dalam bahasa gaulnya, pemerintah bisa dianggap bersikap EGP (emang gue pikirin) terhadap beban dan kegelisahan masyarakat.

Sudah saatnya pemerintah ‘memasang’ telinga lebih lebar dan ‘membuka’ mata lebih luas atas apa yang dihadapi masyarakat. Tugas utama pemerintah adalah membuat masyarakat sejahtera, menciptakan keadilan, dan mencerdaskan kehidupan warga.

Bukan sebaliknya yang terjadi, justru kebijakan pemerintah lebih banyak menambah beban bagi kehidupan warganya. Pemerintah justru membuat semua sendi kebutuhan hidup masyarakat naik. Rasanya belum pernah terjadi sejak era Orde Baru, hampir semua komiditas dan jasa naik serentak hanya dalam waktu lima bulan.

Ya, waktu lima bulan ini memang menjadi era atau tahun ‘kenaikan’ bagi pemerintahan Jokowi. Bukan kenaikan jenjang atau level yang terjadi tapi justru kenaikaan harga barang yang mengiringinya.

Deraan kenaikan harga yang bertubi-tubi mestinya menjadi keprihatinan pemerintah. Masa pemerintahan baru lima bulan berjalan, tentu masih ada waktu untuk membuktikan kepeduliannya pada masyarakat. Tak perlu menunggu suara protes masyarakat untuk membuat lebih serius memikirkan rakyat.

Waktu lima bulan memerintah dengan disertai kenaikan harga dalam pelbagai bidang kehidupan, tentu bukan reputasi yang layak diagungkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement