Sabtu 14 Mar 2015 19:50 WIB

Jokowi Belum Optimal Mendukung Industri Mebel dan Tekstil

Rep: C14/ Red: Ilham
 Pekerja menyelesaikan pengerjaan mebel di Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)
Foto: Prayogi/Republika
Pekerja menyelesaikan pengerjaan mebel di Jakarta, Jumat (19/9).(Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai hari Senin (16/3) mendatang akan memberlakukan paket kebijakan ekonomi baru. Diantara butir paket kebijakan itu menyebutkan penguatan industri prioritas ekspor, seperti industri mebel dan tekstil. Bahkan, diwacanakan pula revisi Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2011 agar kedua industri ini diberi keringanan pajak. 

Namun, Pengamat Ekonomi, Ichsanuddin Noorsy menilai, pemerintah tidak menyentuh persoalan fundamental ekspor mebel dan tekstil Indonesia. Menurut Noorsy, pada hakikatnya melalui paket kebijakan ekonomi baru, pemerintah hendak menguatkan nilai tukar rupiah dengan jalan memperbesar penerimaan dolar. Terlebih ketika harga bahan mentah Indonesia jatuh di pasar dunia. Maka pemerintah memandang sektor industri mebel dan tekstil Indonesia sedang berpotensi ekspor besar. 

“Tapi dengan seperti itu, muncul pertanyaan. Pangsa pasarnya membesar apa enggak? Permintaan pasarnya naik apa enggak?” kata Ichsanuddin Noorsy saat dihubungi Republika, Sabtu (14/3) di Jakarta.

Apalagi, bila memperhatikan jangka waktu penerimaan dolar ke Indonesia dari sektor mebel dan tekstil. Noorsy menuturkan, dampak ekspor keduanya baru kelihatan beberapa bulan kemudian. Misalkan, produksi tekstil atau mebel pada bulan ini, itu baru bisa dikirim ke negara-negara tujuan tiga bulan mendatang. Sehingga, dolar yang dibayarkan ke Indonesia pun mesti menunggu sampai tiga bulan juga.

Noorsy menegaskan, dirinya tidak mengamati bahwa ada kenaikan permintaan mebel maupun tekstil Indonesia. Apalagi, hasil tekstil dan mebel Indonesia sendiri, jelas Noorsy, bersaingan ketat oleh Vietnam, Myanmar, dan Cina. 

“Di era SBY, sudah terjadi dukungan terhadap pertekstilan. Ada upaya meningkatkan karena industri pertekstilan kita dihajar habis oleh Cina,” ujar dia.

Dukungan Presiden Jokowi dianggap optimal bila setidaknya berfokus pula pada persoalan dalam negeri. Untuk soal industri mebel, kata dia, akar masalahnya terletak pada ekspor rotan mentah dan kayu olahan.

“Jadi enggak boleh ada lagi itu yang namanya ekspor bahan-bahan mentah pada mebel, baik kayu maupun rotan,” tegas dia. 

Adapun terkait industri tekstil, Noorsy menengarai, pemerintah semestinya jangan dulu bicara soal ekspor. Akan tetapi, perlu dipertegas terlebih dahulu bagaimana posisi tekstil Indonesia di dalam negeri. Baru kemudian memperjelas peta kekuatan tekstil Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara saja.

“Apa tekstil kita tuan rumah di negeri sendiri? Kan enggak juga sepenuhnya. Dan dihadapkan dengan berbagai pesaing-pesaing baru, misalnya dari negara-negara ASEAN, itu yang membuat saya ragu,” pungkasnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement