Jumat 13 Mar 2015 20:35 WIB

'Remisi Narapidana Korupsi tak Tepat Momentum'

Rep: C14/ Red: Israr Itah
Massa yang tergabung dalam Aliansi Sapu Korupsi menggelar aksi Sapu Bersih Koruptor di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (16/2).    (Republika/Agung Supriyanto)
Massa yang tergabung dalam Aliansi Sapu Korupsi menggelar aksi Sapu Bersih Koruptor di depan Gedung KPK, Jakarta, Senin (16/2). (Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) Miko Susanto Ginting menilai pernyataan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H Laoly bahwa narapidana korupsi pantas mendapatkan remisi dinilai tak memerhatikan momentum.

“Pernyataan Menkum HAM harus melihat konteks kekinian. Dan kini bukanlah momentum yang tepat memunculkan wacana pemberian remisi dan pembebasan bersyarat untuk terpidana korupsi,” jelas Miko saat dihubungi, Jumat (13/3).

Miko beralasan saat ini situasi penegakan hukum di Indonesia masih belum menghadapi persoalan pelik. Misalnya, upaya kriminalisasi terhadap pimpinan dan pendukung-pendukung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Demikian pula, lanjut Miko, perhatian publik masih berpusat pada kasus Komjen (Pol.) Budi Gunawan dan soal Inpres Tentang Pencegahan Korupsi, yang terkesan meminggirkan KPK.

“Kalau konteksnya kurang tepat, maka akan timbul dugaan, wacana ini bertolak belakang dengan arah pemberantasan korupsi,” tegas dia.

Bagaimanapun, Miko mengakui remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak setiap narapidana terlepas dari kasus yang menimpanya. Hanya, lanjut Miko, dalam pemberian hak itu negara boleh menerapkan kualifikasi tertentu. Menurut dia itu bukanlah tindakan diskriminasi. 

“Maka itu, kualifikasi korupsi dan narkotika berbeda dengan tindak pidana lain. Jadi di satu sisi, itu hak narapidana. Tapi bisa dikualifikasikan,” ujar dia.

Karenanya, bila sampai ada upaya pengubahan materi PP 99/2012, kata Miko, pemerintah perlu melihat aspek-aspek materi di regulasi tersebut. Menurut Miko, masih terdapat banyak hal di dalam aturan tersebut yang perlu dikritisi.

“Misal, tentang pemberian remisi terhadap narapidana korupsi yang merupakan justice collaborator. Ini juga jadi pertanyaan. Kalau misalkan korupsinya seorang diri, bagaimana?” kata dia. 

Selain itu, kalaupun bermaksud menyempurnakan materi PP 99/2012 ini, ujar Miko, sebaiknya sejak  awal pemerintahan Presiden Joko Widodo berwacana yang sejalan dengan arah pemberantasan korupsi. “Jangan malah bertolak belakang,” tegas Miko. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement