Jumat 13 Mar 2015 07:10 WIB

Apresiasi Karya Sastra Islami Sudah Bagus

Habiburrahman El Shirazy melayani penggemarnya.
Habiburrahman El Shirazy melayani penggemarnya.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Subarkah/Wartawan Republika

“Kenapa sih cerita sastra Islami hanya soal cinta-cintaan. Apa nggak ada tema lain?” Keluhan seperti ini kerap terdengar dan diam-diam menyelinap di benak beberapa pengunjung yang datang dalam Indonesia Book Fair (IBF) yang baru saja digelar di Kompleks Stadion Senayan Jakarta.

Kenyataan ini tampak jelas bila melihat tema sastra Islami yang kini banyak diekspresikan melalui penerbitan novel di berbagai lapak dan toko buku. Cinta atau romantisme antara laki-laki dan perempuan atau seputar kehidupan rumah tangga masih menjadi tema utama. Sedikit sekali kisah yang berada di luar itu, seperti tema tentang masalah sosial, sejarah peradaban, atau soal kebudayaan.

Anggapan bahwa ciri khas sastra Islami adalah sastra yang bertema pop (populer) makin menjadi ketika karya sastra Islami yang seperti itu diangkat di layar lebar. Kesan yang ada sastra Islami hanya berkisah tentang tema “ringan” menjadi terpatrikan.

Istilah pelukis kondang Hardi di sela syuting film Fatillah di Cirebon beberapa tahun silam, “Kalau mau disebut karya Islami maka cukup diekspresikan dengan banyaknya kata ‘assalamualaikum’ dan kalau di film ditampilkan dengan pemakaian perempuan berjilbab, lelaki berbaju koko serta mengenakan sarung”.

                      ******

Kritikan Hardi di satu sisi memang berlebihan, tapi di pihak lain ada juga benarnya dan harus dijadikan bahan renungan. Apalagi, hingga kini begitu banyak “epigon” dari tema yang berangkat dari sukses novel dan film Ayat Ayat Cinta. Karena tema kelihatan seragam, maka publik akhirnya berpikiran “menggampangkan” seperti itu.

Penulis novel Ayat Ayat Cinta, Habiburrahman El Shirazy mengaku, memang kini apresiasi masyarakat terhadap karya sastra Islami sudah sangat bagus. Banyak karya novel bergenre ini yang menjadi best seller bahkan mega best seller. Bukan hanya itu, ketika difilmkan, novel tersebut juga mendapat dukungan luar biasa. Penonton film mencapai jutaan.

“Memang masih ada kekurangan dalam soal penggarapan tema agar lebih beragam. Dan kami sudah memulai dengan menerbitkan karya terbaru Api Tauhid yang kini sudah mencatat kategori penjualan best seller. Kami risau bila dikatakan tema sastra Islami terlalu banyak menyorot sisi romantis saja. Sebab, bagaimanapun romantis itu dari sisi kemasan, sebenarnya dimaksudkan agar karya terasa nikmat atau tidak membosankan ketika dibaca,” kata Habib seraya mengatakan novel Api Tauhid yang bertema sejarah peradaban Islam itu dalam tiga bulan sudah naik cetak hingga tujuh edisi.

Habiburrahman yang akrab dipanggil dengan Kang Abik mengatakan, nuansa romantisme pada sisi lain kadang semakin diperlukan, agar pesan dari cerita yang disampaikan bisa hadir secara menarik. Apalagi, kecenderungan sastra di dunia manapun dan dalam jenis apa pun pasti akan membicarakan atau terkait dengan hubungan rasa kasih dan sayang antarmanusia, khususnya antara lelaki dan perempuan beserta lingkungan sosialnya.

Ia menjelaskan, untuk lebih meningkatkan mutu dan tema cerita dalam sastra Islami, memang membutuhkan dukungan dari banyak pihak. Ketiadaan kritikus sastra Islami dan perhatian dunia akademis dalam bidang ini, jelas menjadi permasalahan serius. Di perguruan tinggi di Indonesia misalnya, sampai sekarang belum ada fakultas atau mata kuliah khusus tentang sastra Islam. Adanya fakta ini menandakan bahwa sastra Islami di dalam dunia pendidikan Indonesia masih disepelekan atau dianggap bukan sebuah mainstream.

“Padahal, sastra Islami itu sudah ada sejak bahasa Indonesia masih menjadi bahasa Melayu. Sejak masa itu sastra Melayu selalu dekat dengan kalangan ulama. Bahkan, ulama itulah yang sejak dahulu menulis sastra Islami. Jadi, secara wacana, sastra Islami memang sudah diterima publik. Tapi, di kalangan dunia pendidikan belum diberi tempat,” ujarnya.

Kenyataan tersebut memang berbeda dengan perlakuan dunia akademis terhadap publik “sastra yang biasa” (sastra sekuler). Ketika berbicara soal karya sastra ini di kurikulum dan mata pelajaran di sekolah-sekolah, diajarkan mengenai tahapan, periode, dan sejarah para tokoh yang menggeluti sastra tersebut.

“Padahal, di banyak negara, seperti Malaysia, Turki, dan Mesir sastra Islami dijadikan pelajaran atau kajian yang khusus. Bahkan, di negara itu sekarang sudah ada jurusan pascasarjana dan doktor sastra Islam,” kata Kang Abik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement