REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Presiden Jusuf Kalla mengingatkan Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tidak pelit berunding terkait pembebasan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik. Menurutnya, justru terjadi banyak inefisiensi waktu ketika pembebasan lahan memakan waktu berlarut-larut.
"Tidak usah terlalu pelit kepada rakyat soal tanah. Padahal lahan untuk investasi pembangunan pembangkit listrik itu tidak lebih dari setengah persen dari seluruh investasi," kata wapres saat membuka Musyawarah Nasional VI Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) di Kantor PLN Pusat Jakarta, Kamis (12/3).
Dia mencontohkan, masalah pembebasan lahan untuk pembangkit listrik tanaga uap (PLTU) di Batang, Jawa Tengah, bisa ditawarkan Rp 100 ribu per meter persegi, maka untuk lahan seluas 226 hektare hanya menghabiskan Rp 200 miliar.
"Padahal investasinya Rp 40 triliun, lalu hanya karena Rp 200 miliar berantemnya sampai dua tahun," kata Wapres.
Sementara itu, Ketua MKI Harry Jaya Pahlawan mengatakan proses pembebasan lahan menjadi salah satu kendala dalam membangun proyek pembangunan PLTU.
"Pembangunan infrastruktur, salah satunya pembangkit tenaga listrik, mengalami persoalan utamanya di pembebasan lahan," kata Harry.
Pembebasan lahan untuk proyek 2 x 1.000 MW, kata dia, terganjal upaya dialog dan perundingan dengan warga setempat. Pemerintah pun telah merevisi Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
PLN menargetkan proyek pembangunan, yang tadinya akan diselesaikan 2019, dimajukan selesai pada 2018. Proyek senilai Rp 40 triliun itu mendapatkan pendanaan dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC), serta merupakan proyek KPS konsorsium bersama PLN dengan PT Bhimasena Power Indonesia.