REPUBLIKA.CO.ID, YOGYKARTA -- Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menilai wacana pembiayaan partai politik sebesar Rp1 triliun yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak kreatif.
"Mari kita pilih cara yang kreatif, jangan 'ujug-ujug' memberikan dana satu triliun, kita ini sekarang masih terlalu reaktif," kata Zaenal, Rabu (11/3).
Menurut Zaenal, gagasan alternatif yang muncul untuk mencari solusi pembiayaan partai justru seharusnya tidak serta merta bersandar pada APBN. Partai politik, menurut dia, seharusnya didorong melakukan cara kreatif, antara lain dengan mendirikan badan usaha mandiri sebagai sumber pembiayaan operasional partai.
"Misalnya memiliki SPBU sendiri. Beberapa negara melakukan itu," kata dia.
Rencana memberikan dana besar untuk parpol, menurut Zaenal, semestinya telah didahului dengan penguatan sistem yang meliputi transparansi serta akuntabilitas parpol, disertai dengan pembukaan akses Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Bodoh kalau memberi dana besar tidak disertai dengan tanggung jawab yang besar," katanya.
Ia mengatakan tanpa penyaringan yang ketat, pemberian dana sebesar itu juga hanya memunculkan partai-partai baru dengan pengurus parpol yang pragmatis.
Dia mengakui, hingga saat ini partai politik masih susah mendapatkan dana, karena sesuai regulasi yang ada, parpol hanya diperkenankan memungut dana dari tiga sumber, yakni iuran anggota, sumbangan yang terbatas, serta APBD sesuai jumlah perolehan suara pada pemilu. Namun demikian, ia mengatakan gagasan pemberian Rp1 triliun terlalu berlebihan.
"Kalau satu partai Rp1 triliun, maka kalau partainya ada 14, maka bisa Rp14 triliun. Ini terlalu gegabah," kata dia.