REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai putusan Menteri Hukum dan HAM yang mengakui kepemimpinan Partai Golkar kubu Agung Laksono merupakan keputusan politik dan bukan hukum.
"Menkumham melakukan 'abuse pf power' dan ini jelas keputusan politik dan bukan keputusan hukum," katanya di Gedung Nusantara III DPR, Jakarta, Rabu (11/3).
Dia mengatakan, keputusan politik yang diambil Kemenkumham sudah dapat diprediksi ketika Menkopolhukam Tedjo Edhi Purdijatno yang ikut campur dalam penentuan tempat dan tanggal Kongres Golkar di Bali.
Menurut dia, kongres Golkar di Bali sangat jelas dihadiri seluruh DPD I dan DPD II Golkar se-Indonesia sehingga dengan keputusan Kemenkumham, maka kementerian itu telah menodai proses demokrasi.
"Kejadian ini sama persis ketika jaman dahulu yaitu partai dipecah belah dan ini akan merugikan pemerintah sendiri, artinya tidak becus mengurus pemerintahan," ujarnya.
Fadli tetap mengakui Aburizal Bakrie sebagai pemimpin Partai Golkar dan proses perselisihan di internal Golkar masih berlanjut karena belum berhenti. Dia mengatakan, apabila ke depannya dalam proses di Golkar ada intervensi pemerintah maka hal itu merupakan intervensi politik.
"Jangan menghina demokrasi dengan orang yang tidak jelas dan pemerintah jangan menggunakan kekuasaannya (mengatasi konflik dualisme kepemimpinan di Golkar)," katanya.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengesahkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil Munas Ancol yang dipimpin Agung Laksono. Yasona menegaskan, pengesahan tersebut sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Partai Golkar.
Ia mengatakan, keputusan yang diambil berdasarkan Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. "Di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat," katanya.