Selasa 10 Mar 2015 20:33 WIB

Ini Empat Kekurangan BPJS Menurut DPR

Rep: C14/ Red: Bayu Hermawan
BPJS Kesehatan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi IX DPR, Dede Yusuf mendukung keinginan Menteri Kesehatan Nila Moeloek untuk mengevaluasi sistem Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Menurutnya memang masih ada kelemahan-kelemahan dalam penyelenggaraan BPJS selama ini.

"Pada intinya, dalam hal ini kami mendukung evaluasi BPJS. Apalagi, setelah satu tahun, ya perlu evaluasi. Juga soal administrasi dan akuntabilitas datanya dievaluasi," ujarnya saat dihubungi Republika, Selasa (10/3) di Jakarta.

Dede melanjutkan, Komisi IX DPR menemukan setidaknya ada empat kelemahan penyelenggaraan BPJS. Hal itu berdasarkan pengamatannya langsung ketika melakukan kunjungan-kunjungan kerja.

Ia mengatakan kelemahan BPJS itu kebanyakan pada soal administrasi dan pelayanan. Keduanya dirasakan masih berbelit-belit dan pengawasannya lemah. Sehingga, antrean peserta BPJS yang hendak dilayani di rumah-rumah sakit cukup panjang.

"Pertama, karena SDM-nya kurang. Kedua, adakalanya pihak rumah sakit atau juga klinik membuat data pelayanan yang tidak sesuai," jelasnya.

Untuk poin kedua itu, Dede Yusuf memberikan contoh. Misalnya, orang sakit yang datang sekali ke rumah sakit. Lantas, di hari pertama itu orang ini hanya dirawat. Namun, kemudian dia didaftarkan satu kali BPJS.

"Nantinya, hari kedua dia datang lagi, dikasih resep, tapi lantas dihitung dua kali BPJS. Sehingga, tagihan itu membengkak," katanya.

Persoalan ketiga, lanjut politikus Partai Demokrat ini, lebih pelik lagi. Menurut Dede Yusuf, ada banyak persoalan mengenai sistem penagihan di dalam BPJS. Sehingga, ujarnya, perlu ada semacam divisi penagihan.

"BPJS harus mampu membuat apa yang saya sebut Divisi Penagihan. Sehingga, peserta bisa terus membayar iuran," ujarnya.

Dede Yusuf mencontohkan, saat ini banyak peserta BPJS yang merupakan peserta mandiri atau dari kalangan mampu. Kemudian, ketika mereka mau mendapatkan pelayanan kesehatan yang mahal, seperti operasi jantung, mereka ikut BPJS dengan kilahan.

“Dia tahu operasi jantung itu mahal. Ikutlah BPJS. Baru satu bulan membayar, masuk (ke rumah sakit), dia dapat operasi seharga ratusan juta. Setelah selesai, dia //nggak// teruskan lagi pembayaran iurannya (per bulan),” jelas Dede Yusuf.

Keempat, lanjut Dede Yusuf, pihaknya meminta agar wajib ada pos pengaduan BPJS di setiap rumah sakit atau klinik rujukan. Bagaimanapun, kata Dede Yusuf, pihaknya percaya bahwa Divisi Pengaduan BPJS sudah berjalan. Namun, urgensi pospengaduan di tiap rumah sakit rujukan masih perlu dibahas dalam evaluasi.

"Sehingga bila ada pasien-pasien peserta BPJS yang tidak dilayani atau dipersulit, bisa langsung direspons saat itu juga. Kecuali kasus penuh kamar (rumah sakit), itu soal yang berbeda. Intinya, rumah-rumah sakit yang mempersulit, perlu diberikan sanksi tegas segera," jelasnya lagi.

Terakhir, Dede Yusuf menekankan, evaluasi BPJS jangan langsung berujung pada upaya menaikkan premi. Sebab, menaikkan premi tidak berarti menyelesaikan akar masalah. "Menaikkan iuran premi itu opsi terakhir. Menurut saya, untuk memutuskan menaikkan premi saja, lulusan SMA juga bisa. Tidak perlu orang-orang pintar," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement