REPUBLIKA.CO.ID, PATI -- Nelayan yang selama ini menggunakan jaring cantrang mengadu ke Ombudsman RI terkait dengan larangan untuk menggunakan jaring cantrang oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Nelayan mengadu ke Ombudsman terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/2015 tentang larangan penggunaan alat tangkap ikan pukat hela dan pukat tarik yang dinilai merugikan nelayan," kata Koordinator Front Nelayan Bersatu wilayah Pati Bambang Wicaksono di Pati, Minggu (8/3).
Dalam pengaduan itu, kata dia, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dinilai tidak memberikan pelayanan yang baik karena peraturan yang dikeluarkan justru menyusahkan nelayan karena hingga kini banyak yang tidak bisa melaut.
Bahkan, lanjut dia, penundaan pemberlakuan Permen nomor 2/2015 tersebut juga masih sebatas ungkapan secara lisan dan belum ditindaklanjuti secara tertulis sehingga instansi di daerah juga tidak bisa memproses pengajuan izin berlayar para nelayan.
Peraturan tersebut, kata dia, dinilai terburu-buru karena belum pernah ada sosialisasi, tiba-tiba muncul aturan tersebut yang saat ini banyak nelayan di Kabupaten Pati yang menggunakan alat tangkap ikan yang dilarang tersebut.
Selain itu, kata dia, KKP juga tidak memberikan solusi atas larangan tersebut sehingga nelayan yang terlanjur menginvestasikan uangnya untuk membeli kapal dan alat tangkap ikan jenis cantrang kesulitan membeli alat tangkap yang lain.
"Kini nelayan berharap pada Ombudsman agar mengeluarkan rekomendasi kepada KKP agar mencabut Permen 2/2015 tersebut," ujarnya.
Upaya nelayan lewat DPR RI hingga aksi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta, dinilai belum juga mampu mengubah pikiran KKP untuk meninjau kembali peraturan soal pelarangan penggunaan alat tangkap ikan jenis jaring pukat hela dan tarik itu.
Terkait wacana akan dikembalikan ke peraturan sebelumnya, kata dia, justru KKP tidak konsisten karena sebelumnya ingin menyelesaikan masalah munculnya konflik di lapangan.
"Jika aturan sebelumnya diberlakukan kembali, justru wilayah 12 mil merupakan area nelayan tradisional atau kapal berukuran kecil dalam mencari ikan," ujarnya.
Hal itu, kata dia, justru rawan konflik sehingga KKP dinilai perlu duduk bersama dengan nelayan untuk mencari solusi yang tepat yang bisa diterima banyak pihak.