REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penguasaan terhadap sumber air dan pengelolaannya untuk menghasilkan air bersih dan air minum bagi masyarakat, sudah seharusnya berada di tangan pemerintah, sebagaimana ditetapkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
"Sudah seharusnya penguasaan air benar-benar di tangan pemerintah," kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) Mudjiadi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (7/3).
Untuk itulah, Kemenpupera juga telah mendatangi Kementerian Hukum dan HAM pada Rabu (4/3) untuk membahas mengenai tindak lanjut perjanjian dan perizinan pascaputusan MK yang membatalkan UU No.7/2004. Sementara itu, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Wicipto Setiadi, mengemukakan, pihaknya tidak tepat memberikan fatwa atas hal tersebut sebagaimana diminta Kemenpupera.
Sebab, menurut Wicipto Setiada, baik Kemenpupera maupun Kemenkumham merupakan lembaga yang sama kedudukannya. Namun Kemenpupera tidak keberatan bila memberikan pendapat hukum.
"Kami sebenarnya tidak pada posisi memberi fatwa, karena instansi kita sama. Mungkin ada instansi lain yang pas untuk memberi fatwa hukum, mungkin seperti Mahkamah Agung," ujarnya.
Ketua Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (BPPSPAM) Tamin M Zakaria Amin mengatakan, Kerja Sama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan perjanjian antara pemerintah daerah dengan pihak swasta.
Sedangkan bentuk kerja sama antarusaha atau 'business to business' (B to B) adalah antara Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), yakni PDAM dengan pihak swasta.
Tamin memastikan, dalam dua bentuk perjanjian kerja sama ini, posisi pemerintah daerah maupun BUMD yang merupakan bagian dari pemerintah tetap lebih dominan.
Sebagaimana diwartakan, pengelolaan sistem penyediaan air yang selama ini berjalan di Indonesia sempat geger karena MK menghapus Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Putusan MK menyatakan bahwa UU No. 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan diberlakukannya kembali UU No. 11/1974 tentang Pengairan.
MK dalam putusannya yang progresif tersebut menyatakan UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air dalam pelaksanaannya belum menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak penguasaan negara atas air.
Padahal seharusnya, tegas MK, negara secara tegas melakukan kebijakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan. Selain itu, UU Sumber Daya Air yang dihapus tersebut dinilai MK juga belum memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air, yaitu antara lain pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, menyampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air.
Prinsip dasar lainnya adalah negara harus memenuhi hak rakyat atas air, kelestarian lingkungan hidup, pengawasan dan pengendalian oleh negara sifatnya mutlak, prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD, serta pemberian izin kepada usaha swasta harus dengan syarat-syarat tertentu.