Senin 02 Mar 2015 11:10 WIB

Sungai di Jabar ‘Sakit’, Berasku tak Murni Lagi

Rep: mj02/mj01/ Red: Agus Yulianto
Sungai CItarum.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Sungai CItarum.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG - Sebagian besar sungai di Jawa Barat, saat ini, sedang ‘sakit parah’. Penyebabnya, kandungan logam akibat pembuangan limbah telah mencampuri debit air sungai tersebut. Hal ini pula yang kemudian akan berdampak pada lahan persawahan dengan irigasi dari air sungai tersebut sehingga beras yang dikonsumsi warga pun mengandung unsur logam di dalamnya.

Indikasi ‘sakitnya’ sungai itu terlihat dari tidak sesuainya perbandingan debit air minimal dan maksimal saat musim kemarau, yang seharusnya 1: 20. Menurut Kepala Bidang Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Jawa Barat (BPLHD) Suharsono, saat musim kemarau, debir air di Sungai Citarum hanya satu meter kubik.

Namun, ketika musim hujan bisa mencapai 1.300 meter kubik. “Ini jomplang sekali dan menandakan bahwa sungai sedang sakit,” katanya saat ditemui Republika, belum lama ini.

Dikatakan Suharsono, kualitas sungai sangat dipengaruhi oleh kuantitas jumlah air. Ini karena, air sungai itu melakukan pengenceran. Ketika perbandingan debit air itu sesuai, maka ketika ada limbah yang dibuang, selama masih dalam batas normal, maka sungai dapat menyetabilkan.

Suharsono menyebutkan, sungai di Jabar yang ‘sakit’ akibat tercemar limbah adalah Sungai Cisadane, Ciliwung, dan Citanduy. Ketiganya merupakan sungai nasional yang sudah tercemar berat.

Menurut dia, bila lahan pertanian diari dari sungai tercemar, maka bisa dipastikan tanaman yang dibudidayakan pun akan menghasilkan produksi yang terkontaminasi. “Bisa mempengaruhi kualitas tanahnya dan hasil panennya. Berbahaya juga jika kita mengonsumsi makanan yang pengairannya tercampur air limbah,” kata Suharsono.

Upaya yang dilakukan oleh BPLHD Jabar, kata Suharsono, adalah dengan mengadakan perbaikan. “Sungai sakit harus disembuhkan dahulu. Daerah tangkapan air diperbaiki dan kawasan lindung di Jabar harus mencapai 45 persen,” ujarnya.

Selain itu, limbah industri yang dibuang sesuai Izin Pembuangan Limbah Cair (IPLC). Selama ini, Suharsono mengatakan, banyak industri yang nakal dan ini jadi masalah. Padahal, sudah ada sanksi dan hukuman.

Kondisi terparah dari persawahan yang tercemar tersebut berada di kawasan industri seperti Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung. Hal ini juga, berdampak pada penurunan kualitas tanah dan produksi sawah di daerah tersebut.

Menurut Suharsono, pertumbuhan padi pada tanah yang terpapar air buangan tekstil jauh lebih lambat dibanding tanah yang tidak terpapar. Penurunan berat gabah padi secara signifikan juga terjadi akibat air buangan tekstil. “Bulir gabah kopong, jelek, dan hasil produksi tidak bagus. Harusnya delapan ton sekarang hanya satu ton. Petani sudah jarang menanam,” katanya.

Dari hasil penelitian Fakultas Pertanian Unpad dan Balai Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Bogor, Suharsono mengatakan, rusaknya tanaman padi di Rancaekek disebabkan karena kandungan garam (Na) yang tinggi dalam tanah. Yaitu sekitar 47 - 300 ppm dibandingkan kadar normal sekitar 10 ppm. Selain itu, dalam tanah juga terdapat unsur logam seperti raksa, kadmium, krom, tembaga dan kobalt, serta unsur lain seperti besi dan seng dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

“Logam berat yang terakumulasi dalam tanah dan melampaui batas bawah kriteria kritis dalam tanah adalah seng, kobalt, dan krom,” katanya. Jumlah serapan logam berat dari limbah pabrik, seperti, timbal, kobalt, krom, dan baron terbesar di akar, jerami, dan bulir secara langsung, berdampak buruk pada manusia yang mengonsumsinya.

Dosen Pertanian Organik Fakultas Pertanian Unpad, Denny Kurniadie mengatakan, sumber air yang sudah tercemar, terlebih dicemari logam berat tidak bisa dihilangkan. Pasalnya, air itu akan pindah dari satu tempat ke tempat lain. “Dia akan masuk ke jaringan tanaman, misalnya bulir beras, lalu dimakan manusia, maka manusia akan terkena dampaknya,” ujarnya.

Begitu pun bila logam berat masuk ke eceng gondok. Eceng gondok yang diberikan ke ternak untuk pakan, lantas ternak itu dimakan oleh manusia. Tentu manusia lagi yang mendapat imbasnya. “Dampaknya tentu dalam jangka panjang, yakni bisa kanker atau kerusakan organ dalam,” kata Denny.

Kepala Dinas Kesehatan Jabar Alma Lucyati mengatakan, segala makanan yang dikonsumsi manusia dan mengandung logam dapat terjadi penumpukan dan akan mengganggu saraf. “Namun, hal itu masih harus dibuktikan lebih lanjut dengan memeriksa beras yang diduga tercemar limbah logam berat pada uji laboratorium,” katanya.  

Sementara, untuk sawah di kawasan Pantura. Suharsono mengatakan, masih stabil. Meskipun pengairan sawah berasal dari Sungai Citarum, tapi telah disediakan tiga bendungan yaitu Jatiluhur, Saguling, dan Cirata untuk menstabilkan air. “Jadi, air yang tercemar tersebut distabilkan dulu dalam bendungan kemudian dialirkan ke sawah-sawah. Daerah pantura tidak ada masalah. Karena sudah terolah secara tidak sadar oleh bendungan itu,” katanya.

Namun, menurut Ketua Wahana Lingkungan (Walhi) Jabar Dadan Ramdan, meskipun sudah disaring lewat bendungan,  unsur logam itu tetap ada di dalam air dan tidak menghilangkan racun. “Fungsi bendungan tidak signifikan menghilangkan racun. Hanya untuk menyediakan air baku saja,” kata Dadan.

Dadan berharap, perusahaan pabrik jangan lagi mencemari dengan membuang limbah ke sungai. Bukan hanya pabrik di wilayah hulu, tetapi di hilir juga banyak pabrik yang menghasilkan pencemaran.  

Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar pun merasa prihatin atas kualitas air sungai di Jabar yang kondisinya mengkhawatirkan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap tujuh sungai utama yaitu Cimanuk, Citarum, Cisadane, Kali Bekasi, Ciliwung, Citanduy dan Cilamaya, kata dia, semua menunjukan status mutu D atau kondisi sangat buruk.

 

Pada DAS Citarum tidak satu lokasipun yang kualitas airnya memenuhi kriteria mutu air kelas II. Kandungan koli tinja, oksigen terlarut, BOD, COD dan zat tersuspensi pada semua lokasi terdeteksi tinggi. Khusus untuk parameter oksigen terlarut yang merupakan indikator kesegaran air, pada beberapa lokasi kadarnya sangat rendah bahkan ada yang mencapai nol seperti Sapan, Cijeruk, Dayeuhkolot, dan Burujul.

Karena itu, kata Deddy, pihaknya terus berupaya meminimalisasi pencemaran yang selama ini belum menunjukkan hasil yang signifikan. Langkah itu diantaranya dengan menggelar prokasih dan superkasih. Program ini akan dilaksankaan terhadap seluruh sungai di 17 DAS yang ada di Jabar. Namun, saat ini, program baru bisa dilaksanakan di tujuh DAS utama yaitu Citarum, Cimanuk, Ciliwung, Cisadane, Cileungsi, Cilamaya, dan Citanduy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement