Sabtu 28 Feb 2015 22:44 WIB

Tiga Faktor Penyebab BBM Kembali Naik

Rep: c15/ Red: Karta Raharja Ucu
Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium.
Foto: Republika/Prayogi
Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi politik, Ichsanudin Noorsy menilai naiknya harga BBM jenis premium tak lepas dari fluktuasi fundamental ekonomi Indonesia yang lemah. Ichsan berpendapat, Indonesia akan terus mengalami fluktuasi, dan harga di pasaran makin tak terkontrol.

Kenaikan harga BBM jenis premium yang semula Rp 6.600 menjadi Rp 6.800 pada 1 Maret 2015 esok tak lepas dari sistem ekonomi Indonesia yang abnormal. Sayangnya, kondisi abnormal ini terus berulang dan menjadi sebuah normalitas.

Fundamental ekonomi yang dimaksud adalah kondisi ekonomi kita yang bergantung pada tiga indikator. Pertama, pada sektor keuangan tampak pada nilai tukar Indonesia yang saat ini saja menduduki posisi mendekati Rp 13 ribu. Kondisi ini menunjukan fundamental ekonomi makro Indonesia mengalami kerapuhan.

Kedua, menurut Ichsan, perekonomian kita buruk disebabkan pemerintah tidak bisa mengendalikan inflasi. Sehingga, dengan mudahnya mengimport barang yang menjadi hajat hidup orang banyak seperti BBM dan gas. Bahkan, lanjut Ichsan Indonesia juga mengimpor bahan pangan, seperti garam dan beras. Karena sikap Indonesia yang mengimpor barang kebutuhan pokok inilah, ada biaya yang meningkat untuk membiayai impor.

"Ini disebut imported inflasion, dari ketiga hal tersebutlah menyebabkan fundamental ekonomi Indonesia menjadi terus buruk. Hal yang abnormal selalu berulang sehingga menjadi sebuah yang normal. Padahal, Indonesia sedang sakit," ujar Ichsan saat dihubungi ROL, Sabtu (28/2).

Menurutnya, tiga indikator di atas menyebabkan pemerintah menjadi wajar menaikkan harga-harga kebutuhan pokok seperti minyak mentah, gas, bahkan bahan pangan. Sebab, harga komoditas terus menerus berfluktuasi seiring fluktuasi nilai tukar dan akhirnya berpengaruh pada fluktuasi inflasi.

"Indonesia tidak punya bargain dimata negara lain, dan otoritas moneter dan fiksal kita tidak bisa mengatur harga hajat hidup orang banyak," kata pria berusia 56 tahun itu mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement