Jumat 27 Feb 2015 22:35 WIB

Pakar: Grasi Untuk Menggenapi Keadilan

  Presiden Joko Widodo (kiri) bersalaman dengan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta (27/2). (Antara/Setpres-Rusman)
Presiden Joko Widodo (kiri) bersalaman dengan Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi (kanan) di Istana Merdeka, Jakarta (27/2). (Antara/Setpres-Rusman)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dosen Hukum Pidana Universitas Indonesia Patricia Rinwigati mengatakan grasi atau ampunan pada orang yang telah dijatuhi hukuman bermanfaat mengoreksi sistem peradilan yang mungkin menghasilkan putusan keliru.

"

Grasi adalah koreksi untuk sistem peradilan mengingat tidak ada sistem peradilan yang sempurna di dunia. Kesalahan mungkin terjadi dan di situlah manfaat grasi," tutur Patricia dalam diskusi bertajuk " Penyiksaaan dan Peradilan Sesat Di Balik Hukuman Mati" di Kantor Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta, Jumat.

Ia menuturkan grasi ada untuk menggenapi keadilan dan tidak bersifat menghapus kesalahan terpidana. Pertimbangan adanya grasi adalah masalah penghukuman yang mungkin terjadi kesalahan di dalamnya.

"Grasi ini prinsipnya baik, yakni lebih baik membebaskan penjahat daripada menghukum orang yang tidak bersalah," kata dia.

Pemberian maupun penolakan permohonan grasi merupakan hak prerogatif Presiden, kata dia, tetapi kriteria penetapannya tidak diatur dalam undang-undang sehingga hanya berdasar pertimbangan Presiden yang mungkin juga meminta pertimbangan Mahkamah Agung.

Menurut dia, grasi merupakan hal penting dalam hukum Indonesia, apalagi kini Indonesia sedang mengalami darurat penegakan hukum karena hukum Indonesia dinilainya masih bisa berubah-ubah.

Ia mencontohkan praperadilan yang jelas diatur dalam Pasal 77 KUHAP mengenai obyek praperadilan menyatakan bahwa pengadilan negeri hanya berwenang memutus sah tidaknya proses yang berkaitan penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan berubah dapat mengubah status tersangka.

Untuk itu, ia berharap Presiden benar-benar melakukan penegakan hukum seperti yang tertera dalam Nawa Cita untuk membangun negara bersih.

Terkait pemberian grasi, ia menyarankan Presiden berhati-hati dalam memberikan atau menolak grasi karena berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, permohonan grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali untuk pidana tertentu dengan syarat tertentu pengajuan permohonan grasi dapat diajukan sekali lagi.

Sebelumnya Presiden Jokowi menolak semua grasi yang diajukan dalam kasus narkoba dengan pertimbangan dampak negatif merugikan bangsa akibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang.

Ia menyatakan Indonesia harus tegas dalam penegakan hukum terkait narkoba sehingga ia tidak gentar meskipun mengaku mendapatkan tekanan dari berbagai pihak termasuk PBB, NGO, hingga mendapatkan surat amnesti internasional.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement