REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pasar komoditas beras sudah sejak lama cenderung oligopolistik sehingga rawan terjadi penimbunan yang menyebabkan harganya melambung tinggi.
Ekonom dari IPMI International Business School, Jimmy M Rifai Gani menyebutkan, ada sekitar lima sampai delapan pedagang beras berskala besar yang mampu mempengaruhi harga beras nasional.
“Jika pemain beras berskala besar ini berkolusi dan menahan distribusi beras ke masyarakat, otomatis pasar akan terpengaruh. Harganya bisa naik signifikan,” katanya, di Jakarta, Selasa (24/2).
Untuk menyelesaikan persoalan itu, Jimmy menyebut pemerintah kelihatannya belum perlu membuka keran impor beras karena stok beras di Badan Urusan Logistik (Bulog) dinilai cukup untuk menstabilkan harga di pasar. Apalagi, impor komoditas beras akan merugikan harga di tingkat petani dan memperlemah daya saing beras lokal.
Kalau pun harus mendatangkan beras dari luar negeri, mantan Direktur Utama PT Sarinah itu menambahkan bahwa beras yang diimpor hanya untuk keperluan tertentu dan jenis produknya tidak bisa dihasilkan di Tanah Air.
“Sarinah juga importir beras, tetapi beras yang diimpor jenisnya khusus, seperti Japonica Rice asal Jepang untuk pasar terbatas. Beras ini berbeda dengan yang dikonsumsi masyarakat umum dan jenisnya tidak ada di Indonesia," ujar Lulusan Master of Public Administration, John F Kennedy School of Government Harvard University, Amerika Serikat ini.
Sebelumnya Menteri Perdagangan (Mendag), Rachmat Gobel, menuding ada mafia beras yang menyebabkan harga beras melonjak hingga 30 persen di Jakarta. Menteri Rachmat lantas meminta Direktur Utama Perum Bulog menyetop distribusi beras di sejumlah pasar yang janggal dalam menetapkan harga ke konsumen.
Harga beras di Pasar Induk Beras Cipinang sempat melonjak jadi Rp 12.000 per kilogram, padahal hitungan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog seharusnya dijual Rp 7.400 per kilogram.