REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siraj, menuturkan, hukuman mati secara fikih dibenarkan, demi kemaslahatan yang lebih besar. Ia mencontohkan, masjid pun harus dibongkar jika memang diperlukan untuk pelebaran jalan, demi kemaslahatan yang lebih besar bagi masyarakat.
"Kita akan mengeksekusi 64 penjahat narkoba untuk menyelamatkan 240 juta rakyat Indonesia, untuk kepentingan yang lebih besar," katanya di Jakarta, Sabtu (21/2).
Selain itu, kata Said Aqil, keputusan pelaksanaan hukuman mati ini merupakan bagian dari sistem hukum dan kedaulatan Indonesia. "Negara lain tidak berhak melakukan intervensi," tegas Said Aqil.
Bahkan, Said Aqil mengkritik sikap pemerintah Australia yang dinilainya ambivalen atau mendua dalam menyikapi hukuman mati.
Dalam kasus Bom Bali yang menewaskan banyak warga negara Australia, pemerintah Australia cenderung diam ketika Pemerintah Indonesia menjatuhkan hukuman mati dan mengeksekusi pelaku, yakni Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Bahkan banyak warga negara Australia yang setuju hukuman mati tersebut dilaksanakan, terutama keluarga korban.
"Saat ini, ketika warga negara Australia terlibat kejahatan narkoba mau dieksekusi, mereka ramai-ramai menolak hukuman mati tersebut, termasuk mengancam tidak akan berkunjung lagi ke tempat wisata di Indonesia," kata Said Aqil.
Australia mendesak agar eksekusi mati terhadap dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, dibatalkan. Bahkan, dalam permohonan pembatalan eksekusi itu, Australia mengaitkan bantuannya saat terjadi tsunami di Aceh.
Andrew dan Myuran merupakan terpidana mati dalam kasus yang dikenal sebagai "Bali Nine", yakni kasus upaya penyelundupan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia yang dilakukan sembilan warga negara Australia.
Kesembilan pelaku ditangkap di Bali pada 17 April 2005 di Bali. Namun, tujuh pelaku yang lain divonis hukuman penjara.