Senin 16 Feb 2015 19:31 WIB

DPR dan Menaker Dinilai Pro Perbudakan, Jala PRT Mogok Makan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Julkifli Marbun
PRT
PRT

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini melakukan aksi mogok makan sebagai bentuk protes sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) yang dinilai pro perbudakan. Ini terkait keputusan dihilangkannya rancangan undang-undang (RUU) perlindungan pekerja rumah tangga (PPRT) dalam prioritas program legislasi nasional (prolegnas) 2015.

 

“Saya berhenti makan mulai Senin hari ini sampai tak terhingga batas waktunya bila DPR dan pemerintah tidak memasukkan RUU PPRT dlm prolegnas DPR dan Ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) sebagai Prolegnas Prioritas 2015,” katanya kepada Republika, di Jakarta, Senin (16/2).

Menurutnya, tidak ada baik dari pemerintah dan DPR untuk melindungi PRT. Pemerintah dan DPR ditudingya justru menutup telinga, membekukan hati, dan abai memandang pekerjaan di dalam rumah-rumah tangga sebagai suatu pekerjaan yang tidak bernilai. Pekerjaan rumah tangga dianggap bukan pekerjaan seperti layaknya pekerja pada umumnya yang memiliki hak-hak dasar yang sama sebagai pekerja.

“Karena itu, mogok makan ini merupakan wujud protes perlawanan dan tuntutan kepada anggota DPR dan pemerintah. Pemerintah juga harus tahu bahwa Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri melanggar visi misi presiden Indonesia Joko Widodo dan pro perbudakan,” ujarnya.

Aksi mogok makan ini, kata dia, juga dilakukan untuk menggalang solidaritas bersama. Aksi ini sekaligus mengingatkan siapa saja yang mempekerjakan sesama manusia yang lemah, terpinggirkan, dan terlupakan di dalam rumah mereka tanpa menghormati dan memenuhi hak–hak dasar PRT maka tidak lain adalah memperbudak sesamanya sendiri.

Memperlakukan sesama manusia menjadi budak merupakan bentuk pelanggaran terhadap martabat dirinya sendiri sebagai manusia. Di dalam UUD 1945 pasal 28I ayat 1 jelas dinyatakan bahwa hak untuk tidak diperbudak adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Menurut Lita, hak-hak PRT selama ini kerap kali dilanggar sehingga tidak sedikit kasus yang mereka alami. Menurut catatan JALA PRT, selama 2012-2013, sampai sejumlah 653 orang mengalami berbagai kasus pelanggaran hak-hak dasar mereka. Hak-hak yang seringkali dilanggar adalah hak atas upah layak, hak untuk batasan jam kerja, hak beristirahat, hak libur, hak untuk keluar rumah, hak berkomunikasi, hak berorganisasi, hak mendapatkan perlakuan manusiawi, hak mendapatkan jaminan sosial. Padahal, kata dia, berdasarkan survei Angkatan Kerja Nasional  dan Survey Ekonomi Sosial Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2012 menyebutkan bahwa ada sekitar 1,15 juta orang mempekerjakan PRT.

Sesungguhnya, kata dia, kontribusi nilai ekonomi dari pekerjaan para PRT di rumah-rumah majikan itu sangatlah besar karena terbukti majikannya dapat meninggalkan rumah-rumah mereka menuju ke tempat-tempat kerja dalam mengejar karir untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar lagi. Peningkatan pendapatan mereka mempengaruhi percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. “Kontribusi pekerjaan para PRT tidak dapat hanya di lihat dari segi ekonomi, tapi juga dari sisi sosial sebagai warga negara Indonesia karena para PRT juga membayar pajak untuk memenuhi kewajiban sebagai warga negara,” ujarnya.

Namun, pekerjaan PRT tidak dianggap sebagai pekerja dalam hal hak-hak sebagai pekerja. Pekerjaan PRT dianggap sebagai pekerjaan tidak bernilai dan karenanya dipandang tidak perlu mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Padahal, di dalam pasal 28 D ayat 2 UUD 1945 jelas dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dan juga ditekankan dalam pasal 28I ayat 4 yang bungyinya Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement