REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
Inilah standar ganda lain dari masyarakat Barat, terutama Amerika Serikat (AS). Bila para pelaku pembunuhan adalah warga Arab atau Muslim, maka mereka langsung disebut sebagai teroris. Kalau pelakunya warga kulit hitam, mereka dikatakan sebagai pembunuh atau kriminal. Namun, bila pelakunya adalah kulit putih, mereka cukup dinyatakan sebagai ‘sekadar cekcok mulut mempersoalkan tempat parkir mobil’.
Hal itu terjadi ketika berlangsung pembunuhan terhadap tiga orang Muslim warga AS di Chapel Hill, North Carolina, AS, pada Selasa (10/02) pekan lalu. Mereka adalah Deah Shaddy Barakat (23 tahun), isterinya Yusor Mohammad (21), dan adik iparnya Razan Mohammad Abu Salha (19).
Pembunuhan berlangsung di tempat tinggal mereka di kompleks apartemen Summerwalk Circle, Chapel Hill. Pembunuhnya adalah Craig Stephen Hicks (46), warga kulit putih AS. Tiga orang korban meninggal dunia di tempat kejadian akibat terkena berondongan perluru senjata api.
Hicks berhasil ditangkap beberapa jam kemudian. Ia dituduh telah melakukan pembunuhan tingkat pertama, yakni membunuh tiga orang tersebut lantaran dendam setelah adu mulut memperebutkan lahan parkir mobil. Namun, tuduhan arapat keamanan itu segera diragukan masyarakat, terutama para warga Muslim AS. Sebab, Hicks diketahui sebagai seorang ateis garis keras.
Dalam Facebook Hicks yang dikutip situs Aljazirah.net, ia memasang banner antiagama atau kepercayaan. Katanya, ‘‘Saya tak menolak hak Anda untuk percaya apa pun yang Anda suka. Namun, saya juga punya hak untuk menyatakan kepercayaan atau agama itu bodoh dan berbahaya selama mitos itu menjadi dasar untuk membunuh orang lain.’’
Di sisi lain, Barakat, mahasiswa kedokteran di Universitas North Carolina, dan keluarganya dikenal sebagai orang-orang yang ramah, toleran, dan jauh dari fanatisme agama. Mereka juga seperti anak muda Amerika pada umumnya: menyuka sepak bola, basket, dan fast food. Karena itu, banyak pihak meyakini motif pembunuhan terhadap Barakat dan keluarganya bukan hal remeh temeh seperti perebutan lahan parkir. Namun, dilatarbelangi oleh kebencian terhadap Islam dan umat Islam.
Yang juga jadi pertanyaan, mengapa Presiden Barack Obama kali ini sangat lamban merespon pembunuhan tiga warga AS yang beragama Islam itu? Ia baru memberi pernyataan empat hari setelah tragedi itu terjadi. Ini berbeda ketika ia merespon serangan terhadap majalah Prancis Charlie Hebdo yang menewaskan 12 orang. Hanya dalam hitungan jam, ia langsung mengeluarkan pernyataan bahwa serangan terhadap majalah yang sering menghina dan merendahkan Islam itu adalah teror dan pelakunya adalah teroris.
Kata Obama, pembunuhan di Chapel Hill itu sangat brutal dan keterlaluan. Menurutnya, tidak seorang pun dapat menjadi target karena siapa mereka, penampilan mereka, atau bagaimana mereka beribadah. ‘‘Seperti yang kita lihat saat pemakaman korban yang dihadiri ribuan pelayat... Kita semua adalah satu keluarga Amerika,’’ ujar Obama.
Namun, sayangnya Obama tak menyebut kata ‘teror’ dalam pembunuhan keji itu. Padahal, pembunuhan itu telah meneror komunitas Muslim di negaranya.
Sebelumnya, kelambanan respon Obama ini juga telah dikritik Presiden Turki Recep Tayyib Erdogan.Ketika dua hari setelah tragedi berdarah itu Gedung Putih masih saja bungkam, Erdogan yang sedang berkunjung ke Meksiko, Kamis (12/02), tanpa tedeng aling-aling pun mengecam Obama dan jajarannya. Bungkamnya Obama, menurut Erdogan, ‘’Mengundang kita untuk berpikir.’’
Erdogan menegaskan, ‘‘Presiden Obama, Kerry (Menlu AS John Kerry), dan Biden (Wapres AS Joe Biden) hingga saat ini belum mengeluarkan pernyataan mengenai hal ini. Dari sini saya menyeru kepada Obama. Anda adalah presiden. Saya juga menyeru kepada Biden dan Kerry. Kita adalah politisi. Kita bertanggung jawab atas apa yang terjadi di negara kita. Kita harus menunjukkan sikap.’’
‘‘Ketika masyarakat memilih kita, mereka mempercayakan aset mereka, keamanan mereka, kehidupan mereka, dan mereka memberikan kepercayaan itu dalam pemilihan. Jika Anda, setelah insiden serangan seperti ini, tetap bungkam, dunia pun akan bungkam terhadap Anda. Saya katakan kepada kalian, jangan lupa dunia lebih besar dari sekadar lima negara,’’ lanjut Erdogan merujuk lima negara yang menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Menurut Nadia El Zein Tonova dan Khaled A Beydoun, pembunuhan terhadap tiga warga Muslim di Chapel Hill menunjukkan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa ‘kehidupan umat Islam tidak ada nilainya di Amerika’.Tonova adalah direktur The National Network of Arab American Communities (NNACC). Sedangkan Beydoun merupakan asisten profesor di bidang huku di The Barry University Dwayne O Andreas School of Law, Amerika.
Tonova dan Beydoun menulis artikel di Aljazeera.net dengan judul ‘Why Muslim Lives don’t Matter’ atawa ‘Mengapa Hidup Muslim tidak Penting’. Mereka pun mengritik media Barat. Kata mereka, meskipun bukti-bukti permulaan dari pembunuhan itu mengarah pada kebencian rasial dan agama, namun hampir semua media mainstream di Amerika seperti tidak peduli. Bahkan, lanjut mereka, saluran televisi berita seperti CNN, Fox News, dan MSNBC baru menyiarkan berita pembunuhan terhadap tiga warga Muslim itu setelah lebih dari 12 jam dari peristiwa berdarah itu.
Hal itu, menurut mereka, akan berbeda seandainya identitas korban dan pelaku dibalik, yaitu korban kulit putih dan pelaku pembunuhan warga Muslim, seluruh media Barat bisa dipastikan akan geger. Berbagai hal terkait dengan pelaku akan menjadi liputan berhari-hari.
Salah satu penyebabnya, menurut mereka, karena media dan para pengambil keputusan di Gedung Putih selama ini tidak pernah memisahkan antara Islam dan terorisme. Bahkan program perang melawan teroris pun selalu diarahkan ke orang per orang yang beridentitas Islam. ‘‘Hal inilah yang kemudian mendorong orang-orang seperti Hicks untuk memandang negatif terhadap warga Muslim,’‘ tulis mereka.
Tonova dan Beydoun lalu membandingkan respon antara apa yang terjadi terhadap pembunuhan tiga warga Muslim di Chapel Hill dan serangan terhadap majalah Prancis Charlie Hebdo. Menurut mereka, para warga Muslim akan mendapatkan perhatian para politisi dan media Barat hanya apabila mereka di belakang senjata dan bukan di depannya. Atau kalau mereka sebagai penjahat dan bukan sebagai korban.
Dengan kata lain, peristiwa pembunuhan terhadap tiga warga Muslim Amerika di Chapel Hill oleh seorang warga kulit putih telah menyingkap topeng wajah masyarakat Barat yang sebenarnya, terutama media dan politisi Amerika. Standar ganda atau sikap mendua mereka bukan hanya diterapkan terhadap bangsa Palestina seperti selama ini, namun juga kepada para warga Muslim. Termasuk bila orang yang beragama Islam itu adalah warga Amerika sekalipun.