REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Antropolog budaya Pater Gregorius Neonbasu SVD, PhD mengatakan perekrutan calon tenaga kerja Indonesia (TKI) oleh para mafia perdagangan manusia selama ini, jelas melanggar HAM karena tidak pernah merasa sadar untuk menghentikan aktivitasnya tersebut.
"Mereka (para perekrut, red) sadar melakukan aksinya, namun tidak pernah sadar untuk menghentikan aktivitasnya yang jelas-jelas melanggar nilai kemanusiaan dan martabat seseorang itu," kata antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang itu, Jumat.
Neonbasu yang juga rohaniawan Katolik itu mengatakan tindakan para mafia perdagangan manusia (human trafficking) tersebut, karena tekanan ekonomi yang mendorong mereka untuk terus melakukan aktivitas serupa meskipun melanggar hak asasi manusia (HAM).
Para pelaku "human trafficking", tambahnya, teriming-iming dengan tingginya nilai jual seorang calon TKI ke luar negeri, sehingga dengan segala macam cara dilaluinya untuk mendapatkan keinginannya tersebut.
"Materialisme telah mempengaruhi 'mindsetnya', sehingga mereka melihat sosok seseorang layaknya seperti barang yang siap dijual bahkan ditukar-tukar seperti dalam transaksi perdagangan tradisional," tuturnya.
Dalam pencermatannya, dalil perekrut untuk memberikan lapangan pekerjaan di perantauan bagi masyarakat yang tidak mampu mengelolah masa depannya di kampung halaman, hanyalah sebuah kedok semata dari aktivitas perdagangan manusia itu sendiri.
"Saya pikir, perlu kembali kepada satu hal yang sangat mendasar tentang memberikan kesadaran bagi para perekrut bahwa hal tersebut merupakan tindakan tidak manusiawi," katanya menegaskan.
Ia menambahkan jika si perekrut calon TKI tersebut tidak menyadari diri, maka pragmatisme dan materialisme akan terus membayanginya untuk melakukan hal serupa meski sudah terperangkap dalam lingkaran hukuman.
Dalam pengamatannya, Neonbasu yang juga Ketua Dewan Riset Daerah Nusa Tenggara Timur itu belum melihat adanya solusi terbaik dalam upaya mencegah kasus "human trafficking" yang terus marak di wilayah provinsi berbasis kepulauan ini.
"Penangkapan para perekrut itu hanya merupakan solusi parsial saja, karena aktivitas perdagangan manusia itu tetap dilakukan oleh para mafia yang sudah merasa nyaman mendapatkan uang dalam jumlah besar," demikian Pater Gregorius Neonbasu.