REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akademisi dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Aceng Ruhendi Saifullah berpendapat, pornografi yang marak ditemukan pada berbagai tatanan kehidupan masyarakat, dapat dibendung.
''Upaya tersebut bisa dilakukan dan dimulai dari tingkat keluarga, masyarakat, hingga negara,'' ungkap Aceng Ruhendi Saifullah kepada Republika, Selasa (10/2).
Pada level keluarga, jelas Aceng, pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama mesti dikembangkan sejak dini.
Sementara, sensitivitas masyarakat terhadap produk-produk pornografi harus segera disosialisasikan dan disosialisasikan secara sistematis dan masif.
Kemudian, pemerintah perlu konsisten dalam mengembangkan agenda perlindungan masyarakat dari pengaruh negatif pornografi.
"Masyarakat dan pemerintah yang cenderung hipokrit, hedonis, dan permisif adalah lahan yang menyuburkan mewabahnya pornografi," ujar Aceng.
Khusus dari sisi agama, Saifullah menyebut, maraknya pornografi sudah barang tentu mengundang murka Allah SWT. Entah itu secara pribadi maupun berjamaah.
Oleh karenanya, lektor Kepala di UPI tersebut menginginkan agar agama tidak sekadar menjadi rutinitas dan ritualisme. "Tujuannya, agar tidak kehilangan relevansi dan fungsi dalam membendung arus budaya negatif seperti pornografi," kata Saifullah.
Psikolog Elly Risman berpendapat, terpaparnya pornografi di kehidupan masyarakat tak lepas dari kemudahan akses internet melalui berbagai cara. Salah satunya via kepemilikan telepon genggam pada anak-anak.
"Orang tua memberikan handphone kepada anak-anak. Padahal, orang tua sendiri belum tentu tahu bagaimana cara menggunakan handphone," ujar Elly. Ia menyebutkan, "Dari puluhan juta orang tua, sekitar 60 persen di antaranya tidak lulus SD."
Pakar parenting ini menambahkan, darurat pornografi di Tanah Air telah dideklarasikan sejak 2007. Meskipun begitu, permasalahan ini tidak terlalu diperhatikan lantaran belum adanya kasus yang mencuat ke ranah publik.
"Saat ini sudah parah. Sekarang pemerintah mau menyelamatkan negeri ini dari karam atau tidak. Sebab, anak-anak sudah begitu rusaknya," ujar Elly.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim terus melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang berisi konten-konten negatif, termasuk situs porno.