REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pendiri Communication and Information System Security Research Centre (Cissrec), Pratama D. Persadha, menyatakan, pada 2015, media rawan menjadi incaran utama para peretas atau hacker. Hacker dinilai bukan mencari informasi yang sudah dipublikasikan, melainkan data mentah yang didapat media dari lapangan.
“Para hacker akan berusaha semaksimal mungkin masuk ke sistem kita tanpa kita sadari,” jelasnya, saat berkunjung ke Republika, Rabu (11/2).
Menurutnya, saat ini sudah banyak organisasi hacker yang berdiri dan dibiayai oleh perusahaan besar, bahkan ada yang dibiayai pemerintah. Mereka bisa pindahkan data dan informasi penting yang terdapat di dalam sistem.
“Mereka bisa membuat backdoor dan mengambil data, lalu menghapus jejak,” jelasnya. Dalam menjebol sistem media online, kata dia, sebisa mungkin pelaku tidak membiarkan admin tahu bahwa mereka telah masuk ke sistem. Kadang admin tidak teliti dan menganggap semua sistem aman.
Ia menjelaskan, penjebolan sistem pengamanan sebelumnya banyak terjadi di bank. Para hacker umumnya memanfaatkan kesalahan sistem yang ada di bank untuk mengambil keuntungan materi. Hal itu menunjukkan, sistem di bank-bank Indonesia tidak aman.
Standarisasi pengamanan sistem di sejumlah bank dinilai masih belum jelas. Padahal bank bertanggungjawab mengamankan data-data yang dimiliki oleh nasabah.
Hal serupa, menurut riset Cissrec, akan juga dialami oleh media jika media juga memiliki kesalahan sistem. Cissrec menyarankan agar media memperkuat sistem keamanan agar tidak terjadi penjebolan informasi yang mengakibatkan kerugian.