Ahad 08 Feb 2015 07:14 WIB

Antara Jokowi, Legalitas Mobnas dan Mobilnya Tetangga Sebelah

Presiden Joko Widodo saat berpose dengan Mobil Esemka Rajawali saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo
Foto: Antara/Dhoni Setiawan
Presiden Joko Widodo saat berpose dengan Mobil Esemka Rajawali saat masih menjabat sebagai Wali Kota Solo

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ichsan Emrald Alamsyah

Email: [email protected]

Baru pekan kemarin saya tergelitik untuk menulis soal mobil nasional (mobnas). Pikiran saya tergelitik karena selama ini mobil-mobil yang selayaknya disebut mobnas, seperti GEA, Tawon dan sebagainya, seakan-akan tak pernah hadir di telinga pembaca.

Lah, tiba-tiba, Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah menemani mantan kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) AM Hendropriyono yang disebut CEO PT Adiperkasa Citra Lestari untuk menandatangani MoU dengan Proton Malaysia. Loh, bukannya Pak Presiden ingin mengangkat Esemka untuk jadi mobil nasional?

Saya ingat betul ketika Jokowi masih menjabat wali kota Solo, diarak menggunakan mobil Esemka dengan nopol AD 1 A. Mimpi mobil nasional ini juga yang membawa Pak Jokowi kini menjabat RI 1.

Tapi sudahlah, tak usah dipikirkan yang sudah lampau. Janganlah lagi kita gunakan kucuran keringat dan semangat anak-anak bangsa (baca: SMK) untuk jadi kendaraan politik untuk mengangkat citra.

Cuma jangan lupa loh, pak. Dulu salah satu isu yang menjatuhkan Jenderal Soeharto, selain krisis ekonomi adalah mobnas. Kalau diingat pada 1998, Soeharto mencabut Inpres Nomor 2/1996 soal mobil nasional.

Ketika itu, industri otomotif terbesar di Indonesia adalah milik Jepang. Berbagai hak istimewa yang dimiliki mobnas Timor membuat industri otomotif Jepang naik pitam.

Jepang kemudian mengadukan hal ini ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Indonesia pun dituduh melanggar beberapa poin pada ketentuan General Agreeements of Tariff and Trade (GATT).

Sementara pada saat yang sama, Indonesia adalah anggota WTO yang sampai saat ini termasuk sangat penurut. Hingga kemudian WTO memutuskan program mobnas melanggar asas perdagangan bebas dunia sehingga harus segera ditutup. Maka mau tak mau, hilang sudah nama mobnas di muka bumi Indonesia. 

Kembali ke mobnas Jokowi, Menteri Perindustrian Saleh Husin sudah membantah kalau kerja sama antara Adiperkasa dan Proton adalah terkait pembuatan mobil nasional. Ia menyatakan, kesepakatan itu murni business to business.

Hal itu makin menguatkan, kalau kerja sama dua perusahaan itu bukan untuk menciptakan mobil nasional. Cuma herannya, muncul nama pak Jokowi dan Hendropriyono. Kemudian yang membuat saya lebih heran lagi adalah nama Adiperkasa Citra Lestari dan Proton.

Oke, kita kulik nama kedua, karena yang pertama terkesan 'gaib' dan bahkan sulit dicari di 'Mbah Google' sekalipun. 

Proton memang salah satu perusahaan otomotif yang layak disebut produsen mobnas Malaysia. Kelahirannya pun tak bisa dipisahkan dari kekuatan UMNO di Malaysia.

Pencetus perusahaan yang didirikan pada 7 Mei 1983 adalah mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Singkatannya pun begitu menggelora yaitu Perusahaan Otomotif Nasional Sendirian Berhad.

Sama halnya dengan Timor yang menggandeng KIA, Proton mengajak Mitsubishi untuk melahirkan berbagai kendaraannya. Hanya saja setelah itu mereka mengembangkan teknologinya sendiri.

Proton memang sempat meraih angka produksi satu juta unit pada 1996 dan mengakuisisi mayoritas saham dari Grup Lotus. Bahkan pada 2001, ia menguasai pasar otomotif Malaysia hingga mencapai 53 persen.

Sayangnya lambat laun, nama besarnya tergerus oleh kendaraan lokal Malaysia lainnya, yaitu Perodua. Berdasarkan data Malaysian Automotive Institute (MAI) Review and Insight 2014/2015, pangsa pasar Perodua mencapai 29 persen sementara Proton 17,4 persen.

Dilalahnya, selama ini Proton memiliki tempat istimewa di industri otomotif Malaysia. Selain disubsidi negara, penjualan Proton jauh lebih murah dibandingkan kendaraan bermerek non-nasional. Apalagi pajak kendaraan merek asing di Malaysia begitu tinggi.

Proton juga bisa dibilang gagal meraih pasar di beberapa negara seperti Australia, Turki dan Indonesia. Kemudian kenapa memilih Proton, Pak Jokowi?

Kalaupun kita kemudian jadi menjadikan ini kerja sama besar antar-dua-negara, mau tak mau, Indonesia akan tetap ada di bawah mereka. Tentu saja di bawah Malaysia, karena Indonesia yang melakukan alih teknologi dan pengetahuan.

Lalu apa keuntungan buat kita? Keuntungan terbesar tentu saja membuka lapangan kerja baru bagi warga Indonesia. Kalau seperti ini tak ada bedanya dengan perusahaan otomotif lain di Indonesia.

Saran saya, daripada bermimpi tinggi menciptakan mobnas, ada baiknya Pak Jokowi menapak dari bawah dengan produksi dari dalam negeri, seperti Gea dan Tawon. Mintalah tolong kepada perusahaan otomotif Jepang yang sudah sukses melakukan riset dan pengembangan (research and development) untuk alih teknologi. 

Satu lagi, jangan sampai malah menggunakan isu ini untuk kendaraan politik dan 'bagi-bagi rezeki' untuk kawan sejawat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement