REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Pengamat ekonomi Universitas Sam Ratulangi, Joubert Maramis berpendapat, minuman beralkohol harus dibebankan pajak yang tinggi sehingga tidak semua orang sanggup membelinya.
"Pemerintah harus bebankan pajak tinggi, supaya harga minuman menjadi mahal, pada gilirannya pembeli berkurang dan sedikit yang menggunakannya," kata Pengamat Ekonomi Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Joubert Maramis, di Manado, Rabu (4/2).
Dengan ditambah pajak yang tinggi, katanya, maka tidak semua orang yang mampu untuk membeli produk tersebut. "Pasti, yang nantinya akan membeli orang-orang tertentu saja yang memiliki banyak uang," ujarn Joubert.
Jadi, usaha pemerintah untuk menyelamatkan generasi muda dari belenggu minuman keras bisa dicapai secara perlahan-lahan.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah melarang peredaran minum beralkohol kadar 5 persen di minimarket. Hal itu tertuang Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 06/M-DAG/PER/1/2015 tentang pengendalian dan pengawasan terhadap pengadaan, peredaran, dan penjualan minuman beralkohol.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulut Jenny Karouw mengatakan larangan penjualan minuman beralkohol di minimarket efektif berlaku pertengahan April 2015. Tidak hanya minimarket, pengecer pun diharamkan menjual minuman beralkohol.
"Jadi terhitung 16 April 2015 sudah tidak boleh lagi jual minuman beralkohol di minimarket baik di Sulut maupun di seluruh Indonesia," jelasnya.
Saat ini, katanya, masih tahapan sosialisasi kepala pengusaha minimarket namun dia mengimbau agar mulai dari sekarang pemilik maupun pengelola minimarket mulai 'membersihkan' etalase dari minuman beralkohol.
Nantinya, minuman beralkohol harus dijual tertutup, terkunci. Yang membeli harus melalui kasir menunjukkan KTP 21 tahun. Tidak boleh diletakkan di sembarangan dan terpisah. Tidak boleh berdekatan tempat ibadah, sekolah, maupun tempat olah raga.