Selasa 03 Feb 2015 12:00 WIB

Pemerintah Larang Impor Pakaian Bekas

Rep: Rizkyjaramaya/ Red: Ilham
Toko Pakaian (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Toko Pakaian (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perdagangan melarang peredaran impor pakaian bekas. Larangan tersebut diberlakukan sebagai upaya untuk melindungi konsumen dan pasar dalam negeri.

Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel mengatakan, selama ini pakaian bekas yang beredar di masyarakat bersifat ilegal dan berbahaya bagi kesehatan. Selain itu, dalam Permendag No. 54/M-DAG/PER/10/2009 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor bahwa semua produk barang konsumsi yang masuk ke Indonesia harus memiliki kualitas bagus. 

"Apabila tidak diatasi, impor pakaian bekas ini dapat membuat industri garmen dalam negeri tidak berkembang," kata Rachmat di Kantor Kementerian Perdagangan, Selasa (3/1).

Indonesia tidak boleh lagi bergantung dengan impor barang bekas yang tidak berkualitas. Karena itu, standar industri dalam negeri harus diperkuat. Rachmat menyatakan, peredaran barang impor ilegal yang tidak berkualitas tersebut merugikan negara.

Rachmat mengatakan, upaya larangan impor produk bekas sebenarnya sudah berlangsung lama yakni sejak krisis moneter melanda Indonesia 1998, silam. Akan tetapi, lambat laun impor produk justru sulit dibendung dan semakin banyak beredar di Tanah Air, dengan kualitas yang tidak mumpuni. Padahal, industri garmen Indonesia memiliki potensi ekspor yang bagus. 

"Oleh karena itu, kita akan segera mengeluarkan ketentuan baru terkait larangan impor pakaian bekas" kata Rachmat.

Rachmat menjelaskan, sanksi terberat bagi importir pakaian bekas adalah pidana. Alasannya, impor tersebut sifatnya ilegal dan sumbernya tidak diketahui. Selain itu, pemerintah akan menertibkan impor mainan anak yang tidak sesuai ketentuan standar Indonesia dan dapat membahayakan bagi kesehatan.

"Apabila pakaian bekas sudah terlanjur beredar, gak bisa diapa-apain dan kita sedang berkoordinasi dengan Bea Cukai agar pakaian bekas impor tidak beredar di Indonesia," ujar Rachmat. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement