Senin 26 Jan 2015 19:59 WIB

Bentuk Tim Independen, Bibit Sebut Jokowi Tiru SBY

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto.
Foto: Republika/Agung Supriyano
Mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo membentuk tim independen guna mengatasi konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Polri. Menurut, mantan Wakil Ketua KPK, Bibit Samad Rianto, pembentukan tim independen ini meniru gaya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Langkah yang diambil oleh Jokowi ini merupakan hal yang wajar untuk mengumpulkan fakta terkait kekisruhan yang terjadi antara KPK dengan Polri. "Itu tanya Pak Jokowi maksud buat itu. Dia nggak masalah, cuma kumpulkan fakta. Itu mungkin tiru gaya SBY. Wajar-wajar saja, dia masih tanya staf-staf," kata Bibit di Universitas Paramadina, Senin (26/1).

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimmly Asshiddiqie tujuan dibentuknya tim independen untuk meredakan ketegangan konflik penetapan tersangka calon Kapolri Komjen Budi Gunawan oleh KPK dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto oleh Bareskrim Polri. Lanjutnya, pihaknya akan berkomunikasi dengan KPK dan Polri terkait penyelesaian kisruh ini.

Ketujuh anggota tim independen tersebut adalah Oegroseno, Jimly Asshiddiqie, Tumpak Hatorangan Panggabean, Bambang Widodo Umar, Hikmahanto Juwana, Erry Riyana Hardjapamekas, dan Ahmad Syafii Maarif.

Seperti diketahui, pada 2009, perseteruan KPK dan Polri pertama kali terjadi. Saat itu, perseteruan melibatkan komisioner KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah yang ditahan oleh Bareskrim Polri.

Tak hanya itu, Ketua KPK Antasari Azhar pun ditahan karena diduga terlibat kasus pembunuhan. Dengan tiga pimpinan KPK yang tersandung hukum, maka hanya terdapat dua orang komisioner KPK.

Presiden SBY pun diminta untuk turun tangan sehingga dibentuk tim independen pencari fakta kasus Bibit-Chandra. Tim ini pun diberi nama tim delapan dan ditugaskan untuk mencari fakta atas kasus yang menjerat Bibit-Chandra. Hasilnya, tidak ada bukti cukup agar kasus tersebut dibawa ke pengadilan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement