Senin 26 Jan 2015 19:54 WIB

Pencabutan Subsidi Solar Rawan Timbulkan Konflik Nelayan Antarprovinsi

Rep: Lilis Handayani/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Nelayan di Pesisir Selatan Sumbar
Foto: dok Humas Pemprov Sumbar
Nelayan di Pesisir Selatan Sumbar

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Pencabutan subsidi solar bagi kapal berukuran 30 GT keatas, bisa menimbulkan konflik nelayan antarprovinsi. Pola ‘beli bendera’ akibat susahnya mengurus surat andon (izin penangkapan di perairan di luar provinsi) juga harus dihadapi nelayan saat berlayar ke perairan di provinsi lain.

 

Hal itu diungkapkan Ketua HNSI Jabar, Ono Surono, Senin (26/1). Dia mengatakan, nelayan yang selama ini menjadi anak buah kapal (ABK) di kapal-kapal berukuran 30 GT keatas akan beralih pada kapal-kapal kurang dari 30 GT. Pasalnya, kapal-kapal tersebut masih dapat memperoleh solar subsidi.

 

‘’Tapi ke depan, (kondisi itu) akan menimbulkan konflik nelayan antarprovinsi karena wilayah tangkap mereka (kapal kurang dari 30 GT) di zona provinsi,’’ terang pria yang juga menjadi anggota DPR RI dari PDIP tersebut.

 

Ono menjelaskan, dengan zona laut Jawa yang sudah banyak kapal (overfishing), maka pasti mereka akan pergi melaut ke Kalimantan maupun wilayah laut provinsi lainnya. Padahal, untuk berlayar lintas provinsi, mereka harus memiliki surat andon.

 

Namun, lanjut Ono, surat andon itu selama ini juga bermasalah. Para nelayan kesulitan mengurusnya karena tidak pernah terjalin kerja sama antarpemerintah daerah.

 

‘’Dan karena surat andonnya sering bermasalah, sehingga muncul pola ‘beli bendera’,’’ tutur Ono.

 

Ono menerangkan, ‘bendera’ itu semacam organisasi pengamanan di laut, yang dilakukan di luar institusi Polri dan TNI AL. Iuran yang harus dikeluarkan nelayan untuk membeli ‘bendera’ itu beragam, mulai dari Rp 250 ribu sampai jutaan rupiah per trip, tergantung besar kecilnya kapal.

‘’Kalau tidak beli bendera, nelayan akan dirompak atau dirusak atau dicuri alat tangkapnya,’’ kata Ono.

 

Ono mengungkapkan, nelayan pernah melaporkan masalah tersebut pada instansi terkait. Namun, karena tidak ditindaklanjuti, akhirnya nelayan menjadi takut dan terpaksa mengikuti pola ‘beli bendera’ saat melaut ke perairan di provinsi lain.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement