REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bisa menjadi salah satu jawaban atas krisis energi di Indonesia. Sayangnya, hingga saat ini pemerintah belum memasukan proyek ini sebagai prioritas. PLTN menjadi opsi terakhir dalam mengatasi krisis listrik.
Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot Sulistio Wisnubroto mengungkapkan saat ini pembangunan PLTN menunggu keputusan presiden.
"Banyak yang dipertimbangkan. Beliau (presiden) pasti berpikir untuk lima tahun pertama, dan memprioritaskan batu bara. Karena pembangunan PLTN itu lebih dari lima tahun dan selesai di luar masa jabatan sekarang," kata Djarot di Jakarta, Jumat (23/1).
Meski begitu, Djarot mengakui Batan sudah melakukan berbagai koordinasi dengan berbagai lembaga seperi kementerian ESDM, Kementerian Riset Teknologi dan Dikti, serta Bappenas. Baru-baru ini Batan bersama Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) bahkan sudah bertemu dengan ketua DPR membahas PLTN di Indonesia.
Menurutnya, sebagian besar anggota DPR sepakat untuk segara membangun PLTN dan memberikan kontribusinya terhadap krisis listrik di Indonesia. "Hanya catatannya, pembangunan PLTN itu tidak cepat, butuh 7-10 tahun untuk menyelesaikannya. Sementara masa jabatan mereka lima tahun, itu butuh konsistensi dari pemerintah," katanya.
Pembangunan PLTN beberapa tahun terakhir memang banyak ditentang oleh masyarakat. Faktor keselamatan menjadi masalah utama. Namun Djarot menegaskan pembangunan PLTN aman.
Sejauh ini uji kelayakan tapak untuk PLTN di Bangka Belitung dinyatakan layak dan siap memulai pembangunan. Bangka dipilih karena dianggap stabil atau memiliki potensi gempa dengan skala kecil.