REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat kebijakan publik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Husna Zahir, mengkritik rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen kepada pengguna listrik rumah tangga 2.200 sampai 6.600 watt. Pasalnya, listrik merupakan salah satu kebutuhan primer masyarakat. "Listrik masuk kebutuhan pokok," kata Husna, Kamis (22/1).
Husna menilai keliru jika pemerintah berharap mendapatkan tambahan pendapatan sebesar Rp 2 triliun dari PPN listrik. Mestinya tambahan pendapat itu dicari lewat pajak di kebutuhan yang bersifat tersier. "Kalau mau dikenakan pajak itu di kebutuhan yang tersier," ujarnya.
Pemerintah semestinya tidak memanfaatkan kekayaan seseorang sebagai sumber pendapatan. Pasalnya, kata Husna, orang-orang kaya pengguna listrik 2.200 sampai 6.600 watt telah membayar harga listrik sesuai harga keekonomian yang ditetapkan pemerintah. "Kan mereka sudah membayar sesuai harga keekonomian," katanya.
Upaya menjaga efisiensi listri mestinya dilakukan dengan cara yang lebih bijak. Husna berharap pemerintah fokus memperbaiki sektor pelayanan dan pasokan listrik ke masyarakat.
"Kualitas produknya ditingkatkan agar stabil. Di banyak daerah mesti menjadi perhatian," ujarnya.