Rabu 21 Jan 2015 16:32 WIB

LPPOM MUI: Produsen Harus Jujur dan Terbuka Soal Produk Halal

Rep: C83/ Red: Winda Destiana Putri
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.
Foto: Republika/Wihdan H
Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) meminta agar para produsen mengedapankan sifat jujur dan terbuka dalam menjual barang daganganya.

Hal tersebut disampaikan oleh Direktur LPPOM MUI, Lukmanul Hakim. Ia mengatakan, sifat terbuka dan jujur diperlukan agar konsumen mengetahui apakah makanan yang dikonsumsi halal atau tidak.

Ia menjelaskan, sifat jujur dan terbuka yang dimiliki produsen merupakan bagian dari perlindungan konsumen. Jika pengusaha jujur dan terbuka maka bukan berarti mereka akan mengalami kerugian. Hal tersebut dikarenakan, dengan sifat terbuka dan jujur maka pengusaha atau produsen akan memiliki konsumennya tersendiri. Selain diperlukannya sifat terbuka dan jujur dari produsen maka konsumen juga harus selektif dalam mengonsumsi produk dan aktif untuk mencari tahu kehalalan produk yang akan dikonsumsi.

"Untuk itu disini sebagai produsen perlu kejujuran dan keterbukaan. Yang halal itu katakan halal dan tidak halal katakan tidak halal. Kalau jelas-jelas yang masuk kesitu adalah orang yang menggunakan jilbab jadi sudah pasti Islam. Sampaikan ke konsumennya, bahwa ini tidak boleh untuk orang Islam. Masalah dia mau makan atau tidak itu hak pribadi dia. Yang penting produsen sudah melaksanakan tanggung jawabnya," ujar Lukmanul Hakim kepada Republika, Rabu (21/1).

Menurutnya, selain kesadaran produsen dan kewaspadaan konsumen maka diperlukan juga payung hukum yang kuat yang mewajibkan produsen untuk jujur. Jika UU JPH belum bisa diterapkan maka payung hukum tersebut setidaknya terdapat di UU perlindungan konsumen.

Lebih lanjut ia mengatakan, hukum harus mengatur secara jelas seperti apa peraturan dan sanksi yang diberikan kepada  restoran yang menjual babi atau benda yang diharamkan untkuk orang Islam. Untuk itu, aspek kesadaran produsen, kewaspadaan konsumen dan payung hukum harus segera dibenahi dan dirapikan agar kasus seperti ini tidak terjadi lagi.

Ia menambahkan, Fatwa MUI melarang untuk mengonsumsi sesuatu yang tasapuh atau menyerupai. Jadi jika produsen menyebutkan bahwa daging babi hanya merupakan merk restoran tetapi produk yang dihasilkan tidak dibuat dari daging babi maka berdasarkan fatwa MUI, produk tersebut tidak boleh dikonsumsi.

"Cu nyuk ini kan bahasanya kurang awam karena bukan bahasa indonesia. Kalau bahasa asing harus pakai terjemahaannya. Itu dalam label dan iklan pangan juga harus begitu," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement