REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat ada empat alasan kenapa masyarakat atau responden menolak jika partai pendukung presiden Joko Widodo (Jokowi) atau Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tetap melantik tersangka korupsi Komjen Budi Gunawan.
Peneliti LSI, Ardian Sopa mengatakan, pada dasarnya masyarakat tidak ingin tersangka korupsi menjadi Kapolri. Sehingga masyarakat berharap Jokowi tidak meneruskan langkahnya melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri.
"Sebanyak 69,78 persen publik ingin supaya KIH tidak lagi menekan Jokowi melantik tersangka korupsi sebagai Kapolri. Sedangkan sebanyak 23,60 persen publik mendukung supaya KIH tetap menekan Jokowi untuk melantik Budi," ujarnya di Jakarta, Selasa (20/1).
Sementara sebanyak 6,62 persen memilih tidak menjawab atau tidak tahu apakah KIH harus tetap memaksa mantan Wali Kota Surakarta itu supaya melantik Budi Gunawan. Ia menjelaskan ada empat alasan publik kenapa ingin supaya KIH berhenti menekan Jokowi melantik Budi Gunawan.
Alasan pertama adalah tradisi buruk kenegaraan. Publik menilai jika Jokowi ngotot mengangkat Budi Gunawan sebagai Kapolri maka akan membuat sejarah baru melantik tersangka korupsi menjadi orang nomor satu kepolisian.
"Bahkan Jokowi menjadi presiden satu-satunya di dunia yang melantik tersangka korupsi menjadi Kapolri. Keputusan ini meruntuhkan wibawa Indonesia di mata internasional dan meruntuhkan kepercayaan publik yang telah dia didapatkan," jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun Jokowi memiliki argumeni asas praduga tidak bersalah. Selama ini tersangka yang sudah ditetapkan oleh KPK jarang bisa lolos dari jeratan hukum. Karena, KPK tidak main-main dalam mengumpulkan alat bukti.
Alasan kedua yaitu Jokowi telah menurunkan standar moral politik. Dia menyebutkan, ketika di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menteri yang menjadi tersangka korupsi langsung dinonaktifkan, tetapi Jokowi malah melantik tersangka korupsi. Alasan ketiga, persepsi Jokowi sebagai boneka semakin menguat.
"Persepsi Jokowi sebagai boneka sebenarnya kan sudah ada sejak zaman pemilihan presiden tahun 2014 lalu dan anggapan ini semakin menguat jika nantinya dia tetap melantik Budi," katanya.
Alasan terakhir, ini menjadi titik balik publik kontra Jokowi. Padahal, kata dia, Jokowi adalah presiden terlemah karena tidak menguasai partai mayoritas dan suara dukungan terbesar untuknya adalah dari masyarakat.
Dia menyebutkan, pengumpulan data survei kali ini dilakukan 17-18 Januari 2015 dengan menggunakan telepon pintar LSI, sehingga lebih efisien dan cepat dalam mengumpulkan data.
Adapun metode sampling adalah multistage random sampling. Survei ini dilengkapi dengan riset kualitatif yaitu diskusi grup (FGD) di tujuh ibu kota provinsi terbesar, tanya jawab secara mendalam, dan analisis media sosial.
"Sementara jumlah responden 1.200 orang dengan tingkat kesalahan (margin of error) 2,9 persen," ucapnya.
Meski belum ada survei lanjutan reaksi masyarakat kalau Jokowi tetap melantik Budi, tetapi LSI menganalisis kalau dia akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat pendukungnya.
Ia mencontohkah relawan salam dua jari yang anggotanya artis, aktor pendukung Jokowi saat menjadi calon presiden (Capres) saja pekan lalu sudah menunjukkan sikap berdemonstrasi menolak pengangkatan ajudan mantan presiden Megawati Soekarnoputri itu.
"Kalau Jokowi benar-benar tetap melantik maka gelombang penolakan atau demonstrasi semakin lama semakin besar. Masyakat kali ini semakin kelihatan satu suara menolak Budi," jelasnya.
Lebih jauh, kata dia, kepercayaan publik terkhianati dan tidak ada dukungan moral untuk jokowi. Kebijakan-kebijakan publik yang dirumuskan Jokowi juga tidak dilihat pro rakyat.
Dia menambahkan seandainya Budi setelah menjalani penyelidikan dan persidangan ternyata ditetapkan bukan tersangka tetapi pamornya sudah jatuh di mata publik.