Senin 19 Jan 2015 13:32 WIB

Artikel SBY Tentang Kisruh di Internal Polri

Presiden Republik Indonesia (RI) ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Presiden Republik Indonesia (RI) ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Republik Indonesia (RI) ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa prihatin terhadap kisruh di internal Kepolisian RI (Polri). Dia pun menumpahkan gagasannya melalui sebuah artikel yang diunggahnya lewat Facebook miliknya. Berikut opininya:

Polri Kita

Oleh Susilo Bambang Yudhoyono

Bayangkan jika di negara kita tidak ada polisi. Di perempatan-perempatan jalan tidak ada polisi, sehingga lalu lintas kacau balau. Pencuri, perampok dan para penjahat leluasa melakukan kejahatannya karena tidak ada polisi. Unjuk rasa merusak dan kerusuhan dibiarkan karena tidak ada polisi.

Kejahatan narkoba dan terorisme merajalela karena tidak ada polisi. Jutaan orang yang mudik lebaran tidak ada yang mengamankan dan melayani, sehingga semua ruas jalan macet dan kecelakaan terjadi di mana-mana, karena tidak ada polisi.

Dan, korupsi pun makin parah karena juga tidak ada polisi. Kalau begitu, polisi penting. Ya, benar. Sangat penting. Kalau begitu jasa polisi tidak kecil. Ya, itupun benar. Polisi juga memiliki sejarah panjang di negeri kita. Polisi lahir, tumbuh dan berkembang seiring dengan sejarah perjuangan bangsa.

Tahun demi tahun, Polri kita makin profesional, kapabel dan efektif di dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Kita bangga karena Polri makin berhasil mengemban tugas-tugas konstitusional yang diberikan kepadanya. Rakyat pun juga ikut merasakannya.

Di era demokrasi yang sarat dengan kebebasan dan ekspresi penggunaan hak asasi manusia ini, tugas Polri semakin berat. Di era otoritarian dulu misalnya, untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat polisi bisa memilih cara-cara yang dianggap paling efektif. Seolah tindakan yang represifpun dibenarkan. Tetapi, di era sekarang ini hal itu tidak dimungkinkan.

Memang, Polri masih memiliki kelemahan, kekurangan dan permasalahan. Sebagaimana pula kekurangan yang dimiliki oleh lembaga manapun di negeri ini. Masyarakat juga masih melihat sejumlah perilaku dan tindakan yang tidak baik yang dilakukan oleh sejumlah anggota Polri.

Oleh karena itu, dengan lapang dada Polri mesti menerima kritik dan koreksi ini. Artinya, Polri harus terus melakukan pembenahan dan pembangunan diri menjadi Polri yang tangguh, bersih, responsif, kapabel dan dedikatif di masa kini dan masa depan.

Upaya modernisasi dan pembangunan postur yang signifikan yang dilaksanakan di tahun-tahun terakhir ini mesti disukseskan. Program seperti penambahan 50 ribu personel dan alokasi anggaran tambahan 3 triliun rupiah (on top dari anggaran yang sudah ada sebesar Rp 43 triliun), diharapkan Polri di seluruh tanah air makin siap dan makin mampu menghadapi tugas apapun.

Saya yakin, pemerintah sekarang pun akan melanjutkan modernisasi dan pembangunan kemampuan di jajaran Polri yang tengah berlangsung dewasa ini.

Dalam perjalanan sejarahnya, Polri dan TNI, waktu itu masih bersama-sama dalam organisasi ABRI, pernah melakukan reformasi yang fundamental di tahun 1998, dan tahun-tahun setelah itu. Hakikatnya, Polri kembali ke fungsi utamanya, terpisah dengan organisasi TNI, dan kemudian tidak melibatkan diri lagi dalam "politik praktis", atau politik kekuasaan.

Saya sendiri terlibat aktif dalam menetapkan cetak biru dan agenda reformasi waktu itu, dan kemudian ikut aktif menjalankannya. Sejak itu pula Polri, sebagaimana TNI, benar-benar menjadi alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Polri dan TNI sama-sama menghormati sistem dan nilai-nilai demokrasi.

Hubungan Polri dan TNI dengan politik (baca Presiden) juga ditata sesuai dengan norma dan nilai demokrasi, segaris dengan konstitusi negara. Polri dan TNI tidak dibenarkan masuk dalam domain "politik", sementara pimpinan politik juga tidak boleh masuk dalam domain "tatanan & aturan" yang berlaku di jajaran Polri dan TNI. Masing-masing berpedoman kepada tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.

Saat ini Polri kembali menghadapi kemelut menyangkut posisi kepemimpinan puncak di organisasi ini. 14 tahun yang lalu, terjadi pula kemelut dengan apa yang disebut sebagai "Kapolri kembar". Kini krisis semacam itu terjadi lagi, meskipun tidak sama persis.

Kita berharap situasi yang sangat mengganggu keutuhan dan kekompakan Polri ini segera bisa diatasi, sehingga Polri segera bisa berfungsi secara normal dan tetap dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik. Kita perlu memberikan dukungan yang penuh baik kepada Presiden maupun pimpinan Polri untuk mengatasi permasalahan ini, agar kemelutnya tidak berlarut-larut.

Sebenarnya penggantian pimpinan Polri, dan juga TNI, adalah bukan sesuatu yang luar biasa. Undang-Undang dan perangkat peraturan yang berlaku telah mengaturnya. Khusus untuk Kapolri dan Panglima TNI, setelah Presiden memutuskan siapa calonnya, selanjutnya calon itu dimintakan persetujuannya kepada DPR RI.

Penunjukan siapa yang menjadi calon Kapolri dan Panglima TNI adalah menjadi prerogatif Presiden. Sungguhpun demikian, Presiden tidak asal tunjuk dan putuskan, tetapi melalui norma dan aturan yang lazim berlaku. Sebagai contoh untuk calon Kapolri, Kapolri (incumbent) mengajukan sejumlah nama kepada Presiden yang dianggap layak dan memenuhi syarat menjadi Kapolri.

Undang-Undang juga memintakan Kompolnas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden. Di situ Presiden bisa memutuskan. Bisa saja Presiden tidak meminta saran dan masukan dari Kapolri, tetapi pertimbangan dari Kompolnas tetap dipersyaratkan.

Presiden Jokowi memiliki kewenangan dan caranya sendiri untuk menunjuk calon Kapolri. Cara apapun yang dipilih tidak bisa disalahkan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang berlaku. Ketika dulu saya mengemban tugas sebagai Presiden, yang dalam waktu 10 tahun telah empat kali mengangkat Kapolri, saya menetapkan cara dan mekanisme yang saya tempuh.

Dalam keadaan normal, pertama-tama saya meminta saran dan masukan dari Kapolri terlebih dahulu, siapa-siapa yang sesuai dengan jabatan dan kepangkatan serta integritas dan kapasitasnya, layak untuk dicalonkan sebagai Kapolri. Selanjutnya saya meminta pertimbangan Kompolnas.

Ketika tahun-tahun terakhir ini KPK makin intensif untuk memantau pejabat-pejabat negara, termasuk kepolisian, yang diduga bersentuhan dengan wilayah hukum, saya mintakan pula secara resmi informasi dan keterangan yang terkait dengan pencalonan Kapolri ini.

Masukan dari KPK kepada Presiden tersebut, yang disampaikan secara lengkap dan resmi, sungguh saya perhatikan. Namun, saya memilih untuk tidak membawanya ke arena publik. Saya memandang hal ini bagian dari manajemen pemerintahan, dan bukan politik.

Setelah itu, saya pimpin rapat yang dihadiri Wakil Presiden, Menko Polhukam sekaligus dalam kapasitasnya sebagai Ketua Kompolnas, Kapolri, Kabin, Mensesneg dan Seskab. Di situ saya sampaikan siapa saja yang layak untuk menjadi Kapolri baru. Setelah semua memberikan masukan dan tanggapan, saya ambil keputusan saya. Resmi dan mengikat. Setelah itu secara resmi pula saya kirimkan ke pimpinan DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR RI.

Agar tidak ada komplikasi politik apapun, dan agar keputusan yang saya ambil benar-benar obyektif, saya tidak melibatkan pihak manapun dalam pengambilan keputusan saya, kecuali para pejabat fungsional tadi. Yang tidak kalah pentingnya adalah juga penguasaan yang utuh dan kepatuhan terhadap Undang-Undang yang berlaku, yang dalam hal ini terkait dengan aturan dan tata-cara pemberhentian dan pengangkatan Kapolri sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002.

Di tengah-tengah situasi politik yang menghangat saat ini saya juga mendengar sejumlah isu, mungkin juga "provokasi", yang bisa memecah belah di antara kita semua. Termasuk antara Presiden Jokowi dengan saya. Diisukan bahwa yang tengah dilakukan sekarang ini adalah pembersihan "orang-orang SBY", baik di jajaran TNI, Polri maupun aparatur Pemerintahan.

Saya terhenyak. Karena kalau yang dianggap orang-orang SBY itu adalah yang ada dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu, yang sesungguhnya adalah posisi politik (political appointee), hal itu masih masuk akal. Tetapi, kalau para perwira TNI dan Polri profesional, atau para eselon satu jajaran pemerintahan yang statusnya adalah abdi negara itu diistilahkan sebagai "orang-orang SBY", menjadi tidak masuk akal.

Jika setiap pejabat tinggi yang bertugas di era SBY harus segera diganti alias dibersihkan, karena dianggap sebagai orang-orang SBY alangkah malangnya mereka. Apa salah dan dosa mereka? Pengangkatan para pejabat di jajaran TNI & Polri ada mekanismenya.

Pengangkatan eselon satu juga demikian. Tidak pernah saya menunjuk nama bagi posisi-posisi Sekjen, Irjen, Dirjen, Kepala Lembaga Pemerintahan Non Kementerian, dan para Pimpinan BUMN. Mereka semua diusulkan oleh para atasannya, bisa Menteri, Panglima TNI atau Kapolri. Kemudian khusus eselon satu kementerian dan LPNK dibahas oleh Tim Penilai Akhir yang dipimpin oleh Wakil Presiden.

Setelah dilakukan pembahasan dan penilaian yang cermat, dilaporkan kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan. Selama ini, 95 persen saya setujui. Yang 5 persen, sering saya minta dibahas kembali jika ada informasi yang negatif. Setelah jelas segala sesuatunya, segera saya putuskan. Sebagian lolos, sebagian mesti dilakukan penggantian. Itulah sistem dan aturan yang dulu saya anut dan jalankan ~ transparan dan akuntabel.

Saya tidak yakin Presiden Jokowi punya pikiran dan kehendak untuk melakukan pembersihan semacam itu. Kalau hal itu terjadi, bagaimana pula nanti jika Presiden baru pengganti Pak Jokowi juga melakukan "pembersihan" yang sama.

Namun, Presiden Jokowi memikili kewenanangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang sesuai dengan urgensi dan kebutuhannya. Beliau yang akan menggunakan. Beliau tentu ingin sukses memimpin kita semua 5 tahun mendatang ini. Tentu semuanya dilakukan sesuai dengan norma, aturan dan etika yang berlaku.

Ada pula pengamat yang mengatakan kemelut di tubuh Polri ini tidak terlepas dari perseteruan antara Ibu Megawati dengan SBY. Jenderal Polisi Sutarman dipersepsikan sebagai orangnya SBY, dan Komjen Polisi Budi Gunawan sebagai orangnya Ibu Megawati.

Untuk diingat, kalau Pak Budi Gunawan dinilai dekat dengan Ibu Megawati karena mantan ADCnya, maka Pak Sutarman adalah mantan ADC Gus Dur. Bukan mantan ADC SBY. Di era saya, perjalanan karier Komjen Polisi Budi Gunawan juga baik dan lancar. Pak Budi Gunawan mengalami tiga kali promosi jabatan, serta kenaikan pangkat dari Brigjen ke Irjen, dan kemudian ke Komjen.

Menutup tulisan singkat dan sederhana ini, dilandasi oleh rasa cinta kepada negara dan Polri, marilah sungguh kita dengarkan harapan saudara-saudara kita rakyat Indonesia. Mereka berharap Polrinya tetap kompak, dan bisa mengabdi penuh untuk negara dan mereka semua. Melindungi masyarakat, memerangi penjahat. Mereka sedih jika Polrinya pecah dan terkoyak.

Sementara itu rakyat juga berharap agar para politisi dan siapapun tidak melakukan sesuatu yang membuat Polri kita menjadi tidak kompak dan tidak utuh. Kita berharap semua pihak menjadi bagian dari solusi. Mari kita bantu Presiden Jokowi dan “Pelaksana Tugas” Kapolri untuk mengemban tugas yang penting ini.

Cikeas, 18 Januari 2015

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement