REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – BBM turun pasti rakyat senang. Namun dengan harga BBM naik turun membuat dunia usaha sulit untuk menentukan harga.
Hal itu dikemukakan pengusaha ayam ungkup AU Siti Rahmani dan Pengelola SPBU di Wates, Fitroh Nurwijoyo Legowo pada ROL, Jum’at (16/1).
"Lalu bagaimana harga-harga yang sudah terlanjur naik? Apa yang akan dilakukan pemerintah untuk bisa menormalkan harga-harga?, " tanya Ani (panggilan akrab Siti Rahmani) yang juga mantan Ketua Lembaga Ombudsman Swasta DIY ini.
Menurut Fitroh, dengan naik turunnya harga BBM sangat merugikan dan menyulitkan bagi pengusaha SPBU. Sehingga harus melakukan manajemen stok yakni kapan mengambil BBM dan tidak mengambil BBM.
"Kalau kami melepas BBM begitu saja, secara moral terbebani bila masyarakat akan membeli BBM tetapi sudah habis," ujarnya.
Dengan adanya pengumuman penurunan harga BBM, omset premium yang biasanya 16 ton per hari turun menjadi 12 ton per hari. "Bahkan penjualan satu sift tadi baru terjual lima ton, sedangkan biasanya tujuh sampai tujuh ton karena masyarakat menunggu harga turun," kata Fitroh yang juga Direktur Perumda Aneka Usaha Kulonprogo ini.
Untuk meminimalisir kerugian, maka untuk tiga hari ke depan dia akan menstok BBM sekitar 8-10 ton. Dan bila BBM habis , dia masih menstok pertamax yang harganya tidak turun. Dia memperkirakan Senin depan (19/1) akan krodit karena SPBU cenderung akan minta pengiriman harga premium yang baru.
Ani berharap pemerintah tidak hanya menaikkan dan menurunkan harga BBM saja, melainkan juga berperan dalam menjaga stabilitas harga bahan kebutuhan pokok. Karena menjaga stabilitas harga ini memang tugas pemerintah.