REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Perhubungan menegaskan penerbitan Peraturan Menteri tentang tarif batas bawah angkutan udara tak berhubungan dengan kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501. Meskipun Permen Nomor 91 Tahun 2014 tersebut diteken Menhub Ignasius Jonan pada 30 Desember 2014 atau dua hari pasca kecelakaan AirAsia.
Tarif batas bawah dibatasi 40 persen dari batas atas sesuai kelompok pelayanan yang diberikan. Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Udara Dirjen Perhubungan Udara, Muhammad Alwi, mengatakan penerbitan PM tersebut telah melalui beberapa tahapan sedikitnya 25 hari sebelum diteken.
“Perubahan Peraturan Menteri dari 51 menjadi 91 tidak ada hubungannya dengan kejadian kecelakaan pesawat AirAsia, meskipun perubahan ini sebelumnya ada accident,” jelas Alwi dalam konferensi pers di kantor Kemenhub, Jakarta, Kamis (8/1).
Penetapan tarif batas bawah dalam PM No 91/2014 tersebut terdiri atas komponen-komponen seperti sewa pesawat udara, premi asuransi, teknisi awak pesawat, maintenance, biaya operasi variable langsung seperti bahan bakar minyak (BBM), pelumas dan oli, biaya pemeliharaan, serta jasa bandara. Sekitar 80 persen dari komponen tersebut menggunakan kurs dolar AS.
Alwi menjelaskan perubahan PM tersebut bertujuan aspek keseimbangan karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebelumnya, nilai rupiah dari Rp 9.000 saat ini mencapai Rp 12.700 per dolar AS.
Alwi mencontohkan pesawat Boeing 737-800 New Generation untuk bahan bakar saja mencapai 30 persen dari total operational cost. Dia juga menilai ongkos transportasi udara di Indonesia lebih murah ketimbang di Negara lain dengan jarak dan waktu tempuh yang sama.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Komunikasi Kemenhub, JA Barata, mengatakan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak mengenal istilah low cost carrier (LCC). Selain itu, ada yang mengaitkan dengan penetapan tarif batas bawah 40 persen tersebut tidak ada lagi tarif promo.