REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan menegaskan kenaikan tarif batas bawah sebesar 40 persen dari tarif batas atas tidak berhubungan dengan kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501.
"Tidak ada hubungannya dengan kecelakaan, ini murni untuk keselamatan penumpang," kata Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Muhammad Alwi di Jakarta, Kamis (8/1).
Alwi mengklaim menaikkan tarif merupakan salah satu komponen untuk meningkatkan keselamatan karena memberikan ruang yang lebih luas kepada maskapai untuk meningkatkan sejumlah aspek, seperti pemakaian bahan bakar (fuel consumption), gaji awak pesawat, jasa bandara, katering dan sebagainya.
"Fuel consumption saja menyedot 32 persen dari biaya penerbangan, belum untuk yang lain-lainnya. Kita ingin memastikan semua komponen terjamin," katanya.
Alwi membandingkan dengan penerbangan di Amerika Serikat, yakni dari Los Angeles ke Arizona yang jaraknya hampir sebanding dengan Jakarta-Surabaya waktu tempuh satu jam 10 menit, harga tiketnya mencapai 340 dolar AS atau sekitar Rp 2,5 juta.
Dia juga membandingkan dengan harga tiket kereta api eksekutif jurusan Jakarta-Surabaya seharga Rp 400.000 yang tidak jauh apabila dibandingkan dengan tiket ekonomi pesawat jika diterapkan kebijakan tarif batas bawah 40 persen, yakni sekitar Rp 500.000.
"Pemerintah tidak mau membebani masyarakat, agar subsidi silangnya cepat ter-recover. Tidak semua kapasitas kursi itu penuh, agar harganya lebih realistis," katanya.
Alwi menampik jika keputusan menaikkan harga terburu-buru mengingat Peraturan Menteri Nomor 91 Tahun 2014 tersebut ditandatangai Menteri Ignasius Jonan dua hari setelah kejadian nahas kecelakaan pesawat tersebut.
"Walaupun berlakunya 30 Desember, tapi tahapannya 45 hari kami sudah berkoordinasi dengan biro hukum Kemenhub, direktur terkait, dirjen dan dengan asosiasi," katanya.
Namun jika dilihat dari keluarnya Permen terkait tarif batas bawah, jaraknya berdekatan, yakni Permen Nomor 51 Tahun 2014 pada September dan Permen Nomor 59 Tahun 2014 pada November, padahal kondisi makro-ekonomi tidak terlalu menampakkan perbedaan yang signifikan.
Disinggung mengenai tarif per kursi per kilometer, karena acuannya kenaikan tarif tersebut berdasarkan kurs dolar AS, Alwi mengaku tarif tersebut sudah memperhitungkan tarif per kursi per kilometer.
"Dengan harga tiket ekonomi misalkan Boeing 737 new generation, harga ekonomi itu jika dihitung per seat per kilometer Rp1,6 juta, tapi kalau pakai pesawat ATR bisa Rp 1,9 juta karena 'maintenancenya' lebih besar," katanya.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemenhub JA Barata tidak menampik jika rupiah kembali menguat, maka akan ada perubahan peraturan mengenai tarif pesawat tersebut.
"Bisa ditinjau kembali, jika konsumen menilai keberatan bisa diajukan penghitungannya yang dinilai merugikan konsumen dan dilaporkan ke kami," katanya.