Selasa 06 Jan 2015 10:09 WIB

Pelajaran di Balik Insiden Penerbangan AirAsia QZ8501

Pesawat AirAsia kode penerbangan QZ8501.
Foto: Reuters
Pesawat AirAsia kode penerbangan QZ8501.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Ahli Hukum Konstitusi dan Tata Negara, Andi Irmanputra Sidin mengatakan terselip satu pembelajaran penting atas jatuhnya pesawat AirAsia kode penerbangan QZ8501 tujuan Surabaya ke Singapura.

"Insiden ini tidak boleh semata dianggap tanggung jawab penyedia jasa penerbangan. Namun, yang utama bahwa tanggung jawab keselamatan dan keamanan penerbangan adalah tanggungjawab negara," kata Irmansaputra, Selasa (6/1).

Ia mengatakan bagiamanpaun penerbangan adalah termasuk bumi (ruang udara) di atasnya dan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai negara (pasal 33 UUD 1945).

Karena itu, kata Irmansaputra, UU No 1/2009 Tentang Penerbangan menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab akan keselamatan dan keamanan penerbangan adalah menteri yakni Menteri Perhubungan.

"Namun di sisi lain, legislasi di bidang penerbangan harus segera ditinjau. Karena UU Penerbangan 2009 ini paradigma hukum akan keselamatan dan keamanan penerbangan adalah negara sebagai stelsel pasif bukan aktiif," kata Irmansaputra menambahkan.

Jadi, ia menegaskan jika penerbangan dikuasai negara (Pasal 33 UUD 1945), maka negara tidak cukup hanya menempatkan pemerintah sebagai pembina dalam penataan fungsi negara dalam penerbangan yang kemudian diberi peran hanya pengaturan, pengendalian, dan pengawasan (pasal 10 UU No 1/2009 tentang Penerbangan).

Karena  ketiga peran ini di negara liberal pun pasti memilikinya. Jadi, UU 1/2009 ini harus direvisi. Ditegaskan Irmansaputra, negara harus sebagai stelsel aktif khususnya menyangkut keselamatan dan keamanan penerbangan, yang tidak boleh hanya berfungsi pengaturan dan pengawasan saja.

Melainkan yang pertama adalah melakukan pengelolaan, kebijakan, pengurusan secara aktif guna menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Negara tidak boleh hanya menjadi tukang stempel akan sistem manajemen keselamata atau keamanan penerbangan belaka seperti UU Penerbangan 2009.

"Apalagi menempatkan negara ibarat “kotak P3K”, penolong pertama pada kecelakaan jika terjadi insiden. Bukan ini spirit dikuasai negara menurut UUD 1945," ujar Irmansaputra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement