Rabu 31 Dec 2014 18:24 WIB

Harga Premium Ikuti Mekanisme Pasar, Pemerintah Dituding Langgar Konstitusi

Rep: Agus Raharjo/ Red: Mansyur Faqih
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah tak lagi memberi subsidi pada bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium mulai 1 Januari 2015. Meskipun, pencabutan subsidi itu tidak serta merta membuat harga BBM naik.

Justru harga BBM yang baru lebih rendah dibanding sebelumnya. Karena harga minyak mentah dunia saat ini turun di level 53 dolar AS per barel.

Dengan tidak adanya subsidi dari pemerintah, maka harga BBM yang sebelumnya disubsidi kini akan mengikuti mekanisme pasar. Ketua Komisi VII DPR, Kardaya Warnika mengatakan, tindakan pemerintah itu bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia.

Sebab, Mahkamah Konstitusi sudah mencabut beberapa pasal dalam UU Minyak dan Gas yang mengaitkan harga BBM dengan mekanisme pasar. "Pemerintah akan melanggar undang-undang dan konstitusi jika melepas harga BBM pada mekanisme pasar," kata Kardaya pada Republika, Rabu (31/12).

Kalau pemerintah keras kepala ingin melepas harga BBM pada mekanisme pasar, imbuh Kardaya, sebaiknya bertanya pada MK terlebih dahulu. Karena keputusan MK ini sudah final dan tidak dapat ditawar-tawar. 

Menurutnya, MK memang berkewajiban menjaga dan mengawal konstitusi tetap ditegakkan. Karenanya, dengan melepas pada mekanisme pasar, menunjukkan pemerintah belum melakukan kajian mendalam pada kebijakan harga BBM.

"Mungkin pemerintah lupa kalau ada keputusan MK itu atau ada yang tahu tapi bukan selevel menteri sehingga tidak berani menginformasikan," imbuh politisi Partai Demokrat itu.

Kalau tetap bersikeras melepas harga BBM pada mekanisme pasar, maka pemerintah akan berhadapan dengan undang-undang. "Ini akan membuat kredibilitas pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla anjlok," tegas Kardaya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement