Senin 29 Dec 2014 17:55 WIB

PKPA: Kekerasan Terhadap Anak di Sumut Masih Tinggi

Kekerasan anak
Foto: myhealing.wordpress.com
Kekerasan anak

REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Pusat Kajian dan Perlindungan Anak mencatat praktik kekerasan dan eksploitasi terhadap anak di Provinsi Sumatera Utara masih tinggi sepanjang tahun 2014.

"Malah meningkat sekitar 40 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya," kata Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Misran Lubis dalam refleksi akhir tahun di Medan, Senin (29/12).

Pada tahun 2013, kata Misran, PKPA mencatat terjadinya 61 kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak yang didominasi praktik kekerasan seksual.

Sedangkan pada 2014, jumlah tersebut meningkat menjadi 95 kasus yang masih didominasi praktik kekerasan seksual yakni 37 kasus atau 39 persen.

Adapun kasus lain adalah kekerasan pisik dan pembunuhan (21 kasus atau 22 persen), penelantaran anak 13 kasus (14 persen), penjambretan dan perjudian 12 kasus (13 persen), perdagangan anak sembilan kasus (sembilan persen), dan perebutan hak asuh tiga kasus (tiga persen).

Dari perkembangan situasi, PKPA menilai perlindungan terhadap di Sumut mengalami stagnasi karena belum adanya program dan tindakan yang signifikan yang dilakukan aparatur pemerintahan.

Meski DPRD dan Pemprov Sumut telah menyetujui dan mengesahkan Perda Perlindungan Anak pada pertengahan 2014, tetapi belum ada upaya yang konkrit dalam merealisasilkan aturan tersebut.

Kondisi itu diperparah dengan belum adanya aturan pelaksana yang menjadi acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan instansi terkait.

Bahkan, pemkab dan pemkot di Sumut juga tidak menyikapi perda tersebut dengan menyiapkan berbagai aturan di daerah guna ditindaklanjuti instansi di kabupaten/kota masing-masing.

Dari aspek penegakan hukum, PKPA juga menyayangkan minimnya tindakan yang dilakukan untuk memberikan efek jera bagi pelaku praktik kekerasan terhadap anak tersebut. "Tidak lebih dari 25 persen kasus kekerasan anak yang maju sampai proses pengadilan," katanya.

Ironisya, tidak jarang kasus kekerasan terhadap anak tersebut dihentikan dengan alasan tidak ada bukti cukup yang didapatkan aparat penegak hukum. "Anak-anak yang menjadi korban kekerasan hanya bisa pasrah dan menunggu 'keadilan' dari Tuhan," ujar Misran.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement