REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Keberadaan gerakan radikalisme yang diduga tumbuh subur di Nusa Tenggara Barat (NTB) terjadi disebabkan adanya pembiaran dari masyarakat dan kelompok organisasi masa Islam terhadap gerakan-gerakan tersebut.
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, IAIN Mataram, Kadri, mengatakan terdapat sikap permisif dari masyarakat NTB terhadap gerakan radikalisme.
"Ada kesan pembiaran. Kelompok ini tidak dijadikan musuh bersama," ujarnya dalam Dialog tentang Ancaman Terorisme dan Radikalisme di NTB, Senin (29/12).
Ia menuturkan, cara masyarakat yang merespon gerakan radikalisme dengan permisif hanya akan membuat gerakan tersebut menjadi lebih besar dan masif. "Tidak ada solidaritas dan komunikasi sosial yang terjadi," katanya.
Menurutnya, contoh yang paling sederhana adalah adanya masyarakat yang kaget bahkan tidak percaya terhadap penangkapan terduga terorisme yang terjadi di lingkungannya sendiri.
Kadri pun mengkritik masyarakat yang sampai saat ini belum menjadikan gerakan radikalisme sebagai sebuah ancaman. Oleh karena itu, gerakan radikalisme di NTB pada tahun 2015 diprediksi tetap akan tumbuh.
Selain itu, ia menambahkan organisasi-organisasi masa Islam pun kurang masif melakukan upaya antisipasi agar gerakan radikalisme di NTB tidak berkembang dan tumbuh subur.
"Kecuekan kelompok agama terhadap hal itu membuat ruang gerak kelompok radikal menjadi bagus," katanya.
Terpisah, Ketua LSM, Nusa Tenggara Center, Mawardi mengatakan sejauh ini pihaknya menduga gerakan radikalisme di NTB berada di sekitar wilayah Pulau Sumbawa dan Bima. "Tingkat rawan di Bima dan Sumbawa. Sementara, untuk Lombok, Insyaallah tidak," ungkapnya.
Sebelumnya, beberapa kejadian penangkapan yang diduga teroris terjadi di wilayah NTB seperti penangkapan oknum dokter di Kota Bima yang diduga sebagai teroris serta adanya kasus penembakan di Dompu.