REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Bencana gempa bumi dan tsunami Aceh 2004 tak hanya memberikan duka. Tragedi itu juga membuka pintu masuk perdamaian di Aceh setelah konflik yang berlangsung hampir 30 tahun tak kunjung selesai.
Saat peluncuran buku 'Ombak Perdamaian' karya Fenty Effendy di Banda Aceh, Wapres Jusuf Kalla (JK) menegaskan, tak mungkin melakukan pembangunan Aceh yang luluh lantai dihantam tsunami tanpa adanya keamanan dan perdamaian dengan GAM. Upaya tanggap darurat bencana pun diperkirakan membutuhkan waktu satu tahun.
Kegiatan rehabilitasi perbaikan sarana dan prasarana memakan waktu satu hingga satu setengah tahun. "Tanpa keamanan itu semua tak bisa. Maka saya sampaikan ke SBY, Aceh harus damai, jika tidak (akan) setop (perbaikan)," katanya saat peluncuran buku 'Ombak Perdamaian' di Aceh, Jumat (26/12).
Tercatat, pada pekan pertama setelah tsunami telah terjadi satu kali penculikan dan dua kali kontak senjata. Penculikan itu dilakukan terhadap petugas medis dari Dinas Kesehatan NAD.
"Bagaimana kita bisa membangun Aceh kalau truk semen, pasir, dan batu dibajak di tengah jalan? Kalau bapak presiden kasih kewenangan untuk menyelesaikannya, saya segera laksanakan," kata JK dikutip dari buku 'Ombak Perdamaian'.
SBY saat itu pun memberikan persetujuannya. JK kemudian membentuk tim inti yang terdiri dari Hamid Awaludin, Farid Husain, dan Sofyan Djalil. Hamid dan Farid sendiri berpengalaman membantu JK saat menyelesaikan konflik berdarah di Maluku dan Poso pada pemerintah Megawati.
Ketiga orang ini yang kemudian akan melakukan perundingan Helsinki dengan pimpinan GAM. Mereka pun kemudian digembleng oleh JK untuk mempelajari semua hal tentang Aceh, GAM, serta para pemimpinnya.