Kamis 25 Dec 2014 17:19 WIB

Pengurangan Jam Kerja Bisa Berdampak Buruk untuk Perempuan

Rep: c14/ Red: Joko Sadewo
Pekerja perempuan (ILustrasi)
Foto: Idtimes
Pekerja perempuan (ILustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -– Wacana  Wakil Presiden Jusuf Kalla belakangan untuk mengurangi jam kerja bagi perempuan di perusahaan swasta maupun milik negara, bisa berdampak buruk bagi perempuan. Hal ini akan membuat perusahaan enggan pengunaan tenaga kerja perempuan.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira Idris mengatakan bisa jadi akan muncul pemahaman, perusahaan akan merugi bila merekrut banyak pekerja perempuan. hal itu berdampak buruk pada perempuan pekerja atau pencari kerja itu sendiri.“Nah, itu dipahami dulu,” ujar Fahira Fahmi Idris saat dihubungi Republika Online (ROL), Kamis (25/12) di Bekasi, Jawa Barat.

Menurut Fahira, pengurangan jam kerja itu sebaiknya bisa dilakukan untuk kriteria tertentu saja. Fahira mengaku setuju bila pengurangan jam kerja diterapkan hanya bagi ibu hamil. “Karena itu manusiawi. Lagipula, sasaran aturan itu sifatnya kausalistik, bukan generalisasi,” kata Fahira.

Menurutnya, cuti bagi ibu hamil di Indonesia tidak sebanding dengan di negara-negara luar. Misalnya, di Inggris dan Finlandia, cuti ibu hamil bisa selama dua tahun. Namun, terang Fahira di Indonesia, sebagaimana aturan UU Ketenagakerjaan yang belaku, cuti ibu hamil hanya sampai tiga bulan lamanya.

“Padahal, masa ASI eksklusif sendiri enam bulan. Karena itu, saya berharap UU Ketenegakerjaan kita direvisi atau negara bisa membuat aturan baru terkait ini,” kata Fahira, Kamis (25/12).

Selanjutnya, Fahira menekankan, perspektif gender hanya berlaku bila aturan pengurangan jam kerja diberlakukan bagi seluruh perempuan, bukan hanya ibu hamil. Artinya, perspektif yang cenderung menghadap-hadapkan laki-laki dan perempuan ini bisa menempatkan seimbang antara kemampuan kedua jenis kelamin itu di dunia kerja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement