Ahad 21 Dec 2014 20:32 WIB

(Menunggu) Babak Baru Lumpur Lapindo

Rep: C54/ Red: Citra Listya Rini
Semburan Lumpur Lapindo
Semburan Lumpur Lapindo

REPUBLIKA.CO.ID,SURABAYA  --  Setelah delapan tahun menjadi masalah pelik tak berkesudahan, tragedi Lumpur Lapindo bersiap memasuki babak baru. Titik terang penuntasan bencana kemanusiaan nasional tersebut hadir setelah beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo memutuskan pemerintah akan turun tangan mengganti sisa kerugian korban.

Dana sejumlah Rp 781 miliar akan dianggarkan dalam RAPBN 2015 untuk memenuhi hak ganti rugi korban yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) dengan alasan tak punya lagi uang. Pemerintah mengumumkan, dana tersebut akan dicatat sebagai hutang PT MLJ, anak PT Lapindo Brantas, yang harus dikembalikan dalam jangka waktu empat tahun ke depan.

Meski begitu, kabar tersebut tak lantas meredakan kekecewaan warga korban. Hingga saat ini, korban masih tetap bertahan memblokade aktivitas penanggulan dan penyalauran lumpur ke Kali Porong. Mereka adalah kelompok pemilik 3100 dari berkas ganti rugi yang belum terpenuhi haknya sejak delapan tahun silam.

Sejak Mei lalu, kelompok warga tersebut melarang petugas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk memperbaiki tanggul dan mengakses fasilitas pengaliran lumpur. Mereka membangun posko di kawasan tanggul titik 42, tepat di bawah menara pengawas utama dan jalur keluar-masuk operator kapal keruk.

Pentolan warga korban, Djuwito (64 tahun) menyampaikan warga tidak terlena dengan janji penyaluran dana oleh pemerintah selama itu hanya sekedar wacana. “Kami berterimakasih pada pemerintah. Tapi kami sudah lelah dengan janji-janji. Harus ada hitam di atas putih, seperti Keputusan Presiden, agar kami yakin,” ujar kakek yang dulu tinggal RT 07/RW 02 Desa Renokenongo itu kepada Republika Online, Sabtu (20/12).

Menurut Djuwito, tidak ada yang bisa memaksa warga hengkang dari lokasi pendudukan. “Putusan MK menyebutkan, sebelum adanya ganti rugi, tanah dan bangunan adalah kepunyaan pemohon. Jadi, tanah-tanah kami, terserah kami, dong,” kata mantan penjual satai itu.

Blokade warga yang sudah berlangsung lebih dari setengah tahun tersebut juga telah menyebabkan aktivitas penanggulan di titik 73B Desa Kedung Bendo dan Desa Gempol Sari yang kritis tak bisa laksanakan.

Seperti dikhawatirkan, curah hujan yang tinggi tak lagi tertampung di dalam tanggul pembatas, sehingga air dan material lumpur meluap beberapa waktu lalu. Akibatnya, sejumlah rumah, masjid dan kantor desa tergenang oleh lumpur, dan lebih dari 100 warga mengungsi ke balai desa.

Perkampungan warga di Desa Kedung Bendo dan Gempol Sari sejatinya termasuk dalam peta area terdamapk. Namun begitu, karena belum mendapatkan ganti rugi sama sekali, mereka tak punya pilihan, kecuali bertahan di rumah dan lingkungan yang sudah tak layak huni tersebut.

Setelah jebolnya tanggul, warga baru mengizinkan petugas BPLS menjalankan aktivitas penanggulan. Tanggul baru sepanjang 1,7 Km yang direncanakan sejak 2011 kini tengah dikebut oleh pihak BPLS. Kepala Bagian Humas BPLS Dwinanto Prasetyo menyampaikan, saat ini, timnya sedang berpacu dengan hujan untuk membereskan tanggul.

Menurut Dwi, jika tanggul tersebut rampung, BPLS bisa sedikit bernafas lega karena ancaman luapan lumpur semakin jauh dari perkampungan warga. “Jadi tanggul ini dibangun di samping Kali Ketapang, sehingga seandainya terjadi luapan akan terlebih dahulu sampai di sungai,” ujar Dwinanto dijumpai di BPLS di Desa Kali tengah, Porong, Sabtu (20/12).

Sebagai pihak pelaksana, menurut Dwi, BPLS menyambut baik komitmen pemerintah yang hendak memberikan talangan untuk PT MLJ. Secara teknis, Dwinanto menjelaskan, BPLS akan bertanggung jawab memastikan PT MLJ menyalurkan dana tersebut secara tepat sasaran.

Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran PT Lapindo Brantas bermula sejak 29 Mei 2006. Hingga kini, semburan belum bisa dihentikan dan mencapai luas hinga 640 hektare. Tercatat, 16 desa di tiga kecamatan terkubur, yakni kecamatan Porong, Jabon dan Tanggul Angin.

Sejumlah 10.426 unit rumah, 65 unit tempat ibadah, 30 persusahaan, 33 sekolah, dan berbagai fasilitas lainnya terendam. Jumlah warga yang dievauasi tercatat lebih dari 10 ribu jiwa, dengan total klaim ganti ganti rugi mencapai 13 ribu berkas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement