Ahad 21 Dec 2014 16:16 WIB

'Jika Tak Ingin Jadi Pecundang, Golkar Harus Islah'

Rep: C01/ Red: Erdy Nasrul
Emrus Sihombing (kiri), Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (tengah), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara saat menjadi narasumber diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9). (Republ
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Emrus Sihombing (kiri), Direktur Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi (tengah), Direktur Indonesia Publik Institute Karyono Wibowo (kanan) berbicara saat menjadi narasumber diskusi publik di Jakarta, Jumat (19/9). (Republ

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sejauh ini ada dua opsi yang mungkin dilakukan oleh Partai Golkar untuk menuntaskan konflik dualisme kepemimpinannya, yaitu melalui islah atau melalui pengadilan. Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, menilai islah merupakan jalan terbaik bagi Partai Golkar.

"Kalau Golkar ingin menyatu, tidak menjadi pecundang pada (pemilu) 2019, maka solusi yang diberikan harus islah," terang Emrus pada Republika Online, Ahad (21/12). Kunci keberhasilan dari dilaksanakannya islah ialah kedua kubu harus bisa berkompromi. Kubu Agung Laksono maupun kubu Aburizal Bakrie tidak boleh memaksakan kehendaknya masing-masing.

Emrus juga menilai pemilihan jalur hukum melalui pengadilan untuk menyelesaikan konflik internal Golkar sebagai pilihan yang kurang bijak. Pertama, memilih pengadilan sebagai media untuk menyelesaikan konflik akan membuat Golkar kehabisan banyak waktu. Kinerja mereka di legislatif pun akan menimbulkan kebingungan terkait fraksi siapa yang suaranya sah di DPR.  "Yang terjadi nanti prosesnya akan lama. Naik banding, naik banding. Kapan mereka bekerja di legislatif?" jelas Emrus.

Selain itu penyelesaian konflik melalui pengadilan akan selalu menghasilkan pihak yang "menang" dan pihak yang "kalah". Adanya pihak yang menang dan kalah ini akan menjadi semacam bom waktu lagi bagi Golkar di masa depan. Pasalnya, ketika ada pihak yang dimenangkan dan dikalahkan, akan timbul ketidakpuasan pada satu salah satu pihak. "Dilihat dari itu, (menempuh) jalur hukum sangat tidak baik bagi Golkar dibandingkan dengan islah," lanjut Emrus.

Akan tetapi, jika pada akhirnya Golkar memilih islah, Golkar juga harus mengesahkan hasil islah tersebut melalui Musyawarah Nasional (Munas) rekonsiliasi atau Munas luar biasa. Tanpa Munas kembali, dikhawatirkan hasil islah tidak memiliki kekuatan hukum. Ini dikarenakan putusan dari Munas sebelumnya, baik Munas Jakarta maupun Bali, hanya bisa dibatalkan melalui Munas juga. "Itu (hasil islah) harus dimunaskan sehingga legitimate. Sehingga Golkar menyatu," ujar Emrus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement