REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, menyatakan gesekan sosial kerap muncul di tengah demokratisasi sedang tumbuh dan menjadi kewajiban bagi semua umat untuk menjaga dan melestarikan kehidupan harmonis.
Kebebasan berekspresi dan tuntutan atas hak-hak yang pernah hilang muncul ke permukaan sehingga sering menimbulkan gesekan sosial yang tidak diperlukan, kata Lukman Hakim pada pembukaan Mahasabha ke-IV Konferensi Agung Sangha Indonesia di Jakarta, Selasa (16/12) malam.
Hadir pada acara tersebut Dirjen Bimas Buddha Drs Dasikin M.Pd, tokoh Katolik dan budayawan Indonesia Prof Dr Franz Magnis Suseno, para bhiku dan dan sejumlah undangan.
Karakteristik masyarakat Indonesia dikenal relegius, namun mulai tergerus dengan ditandai munculnya karakter baru yang kurang sabar, kurang menghargai keragaman keyakinan dan budaya. "Dengan begitu, kita sering memandang diri kita sebagai pribadi yang asing," kata Lukman Hakim.
Secara teoritis dan praksisnya, kata Menag Lukman, agama sesungguhnya berfungsi sebagai jalan bagi umatnya untuk mendapat kedamaian dan menemukan diri sejatinya. Selain itu, agama mengajarkan pentingnya membangun relasi sosial yang baik.
Semua agama mengajarkan pentingnya bertenggang rasa dan saling menghormati, saling mengasihi. Para pendiri bangsa Indonesia menyadari betul hal itu sehingga menjadi kewajiban semua pihak untuk menjaga dan melestarikan kehidupan harmoni, rukun dan damai di tengah kehidupan umat beragama.
Terhadap kondisi itu, menurut menteri agama, sepatutnya pemimpin agama yang juga sebagai penjaga moral bangsa tergerak untuk membangkitkan kembali karakter bangsa sesuai dengan budaya sendiri.
Menurut Lukman Hakim Saifuddin, mengetahui apa yang baik saja tidak cukup. Yang penting adalah menyampaikan kebaikan tersebut di hati dan mewujudkannya dalam tindakan, perbuatan atau perilaku.
Menunjukkan ketauladanan, menghormati dan meniru tokoh panutan serta membangun lingkungan yang mencerminkan kebaikan, akan lebih nyata pengaruhnya daripada memberi tahu atau menyuruh seseorang berbuat baik, apa lagi kalau yang memberi tahu atau yang menyuruhnya justru melakukan hal-hal yang tidak baik.
Ia menambahkan, membangun keyakinan dan sikap yang mendasari kebiasan baik bukan usaha instan. Namun merupakan proses yang berlangsung sedikit demi sedikit secara berkelanjutan dan bukan melalui indoktrinasi. "Proses itu dapat dilakukan di dalam rumah tangga atau keluarga," kata Lukman.