REPUBLIKA.CO.ID, PONDOK LABU – Setelah kenaikan harga BBM, Pertamina mengusulkan kenaikan harga Liquefied Petroleum Gas (LPG) atau elpiji 12 kilogram menjadi Rp 106. 671 per tabung pada akhir 2014. Kemudian kembali naik pada 2015 sebesar Rp 147 ribu dan 2016 menjadi Rp 175 ribu.
Namun bagi masyarakat sama artinya Pertamina tak berpihak pada masyarakat menengah ke bawah. Warga Pondok Labu Sulistiyo Hardi mengatakan, kenaikan harga LPG semakin membuktikan pertamina gagal mengolah Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak dan gas.
Padahal peran pertamina dalam mengolah SDA sangat diharapkan untuk membantu masyarakat Indonesia yang Awam terhadap pengolahan hasil buminya sendiri. Katanya kerugian pertamina tidak serta-merta kesalahan masyarakat.
Selama ini masyarakat selalu membeli Gas secara tunai. Masyarakat tidak pernah berhutang ataupun mengkredit gas pada pertamina. “Kini Pertamina rugi, yang lebih rugi masyarakat,” ujar Sulistiyo Hardi pada Republika Senin (15/12)
Hardi yang menggunakan LPG 12 kilogram awalnya memang merasa terbantu karena harga BBM naik. Tapi, Ia merasa terbebani kenaikan harga LPG sangat berbarengan dengan kenaikan harga BBM dua ribu rupiah.
Katanya kenaikan harga LPG, imbasnya pada seluruh kalangan sampai pada harga makanan kaki lima. Ia mencontohkan penjual nasi goreng yang sering mangkal di pertigaan jalan.
Penjual itu sudah tidak lagi menggunakan LPG tabung kecil. Untuk berhemat mereka gunakan tabung yang lebih besar. Padahal sejak kenaikan BBM harga nasi goreng tidak naik, setelah kenaikan LPG nanti mereka tentu akan lebih pusing dengan harga nasi yang akan mereka jual.
Warga Lebak Bulus, Darmawan meminta kenaikan harga LPG jangan mengikuti kenaikan harga BBM. Kata Darmawan, imbas kenaikan harga BBM masih terasa. Ia mengaku kesulitan mencari tambahan untuk biaya anak sekolah.
Hasil kerja yang ia dapatkan sebagai supir taksi bisa habis karena memikirkan kebutuhan dapur dan ongkos angkutan umum untuk anak-anaknya. Sehingga pendapatan dan pengeluaran dalam sebulan sudah tidak sebanding. Pengeluaran dalam sebulan sudah tidak sebanding dengan gaji yang ia dapatkan sebagai supir taksi.
“Kalau begini bunuh saja masyarakat,” protes Darmawan