REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama (Kemenag) malam hari ini, Kamis (11/12), menggelar konferensi pers mengenai rancangan undang-undang (RUU) kerukunan umat beragama (KUB).
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyampaikan, ada beberapa poin yang akan menjadi substansi dalam RUU KUB. Poin-poin itu antara lain tentang pengakuan terhadap agama, pendirian rumah ibadah, dan penyiaran agama.
"Pada prinsipnya, RUU ini merupakan penjabaran lebih lanjut akan konstitusi kita. Terutama Pasal 29," ujar Lukman Hakim Saifuddin saat ditemui di Kantor Kemenag, Jakarta, Kamis (11/12).
Mengenai poin pertama, Lukman Hakim menjelaskan, negara tidak hanya berkewajiban melindungi umat yang agamanya diakui secara resmi oleh undang-undang, melainkan juga agama atau kepercayaan lain yang hidup di Indonesia.
Tegasnya, dalam pembahasan Kemenag mengenai RUU KUB, Lukman mengatakan, pihaknya belum menentukan, apakah perlu ada pengakuan atau tidak dari negara terhadap sebuah agama atau kepercayaan. Di dalam UU Nomor 1 PNPS 65, terang Lukman, yang digunakan bukanlah kata agama yang diakui, melainkan bahwa negara melindungi agama yang dipeluk atau dianut oleh tiap warga negara Indonesia.
"Nah, melalui penggodokan akan RUU inilah dibicarakan, apakah sebuah agama perlu pengakuan, apakah negara punya wewenang untuk mengakui sebuah agama sebagai yang resmi. Demikian pula, apakah negara cukup melindungi umat yang agamanya resmi diakui. Memang itu semua masih jadi perdebatan," kata Lukman Hakim secara panjang lebar, Kamis (11/12).
Poin kedua berkaitan dengan pendirian rumah ibadah. Lukman Hakim menegaskan, hal itu bukanlah sebuah pemicu konflik, melainkan sebagai efek kasuistik saja. Lukman mengakui, memang masih belum tercapai kesepahaman bersama mengenai pendirian rumah ibadah. Karenanya, kata Lukman, melalui RUU ini pihaknya akan mengupayakan persamaan persepsi di antara kalangan umat beragama. Tepatnya, mengenai bagaimana sesungguhnya norma tentang pendirian rumah ibadah.
"Poin ini juga multiaspek. Yakni berkaitan pula dengan persoalan tata kota, tata ruang, atau perizinan. Semua itu tidak hanya wewenang Kemenag, melainkan juga melibatkan pemerintah daerah setempat atau kementerian lain," ujar Lukman Hakim, Kamis (11/12).
Poin selanjutnya, berkaitan dengan penyiaran agama. Kata Lukman, RUU ini juga akan mengatur persoalan dakwah di ruang publik. Sebab, selama ini aturan seperti Surat Keputusan Bersama (SKB) menteri belum memadai. Untuk itu, terang Lukman, kini pemerintah akan kukuhkan aturan demikian dengan undang-undang.
Isinya, lanjut Lukman, bagaimana penyiaran agama dilakukan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Terutama, bolehkah penyiaran agama ditujukan kepada komunitas atau individu yang berbeda agama dengan pihak penyiar atau pendakwah.
"Hal itu mesti diatur oleh undang-undang. Sebab, bila tidak, akan menimbulkan gesekan di tengah masyarakat. Ini yang kita hindari," ungkap Lukman Hakim, Kamis (11/12).
Selain itu, Lukman menegaskan, RUU ini akan mengatur, mana metode dakwah atau penyiaran agama yang boleh dan mana yang tidak. Sebab, kata Lukman, tidak bisa dipungkiri, tidak sedikit ceramah keagamaan yang bernada provokatif atau agitasi. Untuk meredam hal itu, perlu ada prinsip dasar, bagaimana penyiaran agama yang arif.
Terakhir, Lukman menjelaskan, pada prinsipnya, negara menjamin setiap warganya untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing. Itulah amanat konstitusi. Karenanya, kata Lukman, pemerintah dan DPR perlu menjabarkan amanat itu ke dalam undang-undang KUB.
"Tujuan akhirnya, pemerintah wajib melindungi semua umat beragama agar rukun dan tak mudah terprovokasi," pungkasnya.