REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar mengatakan, terwujud atau tidaknya pembentukan Pengadilan HAM ad hoc di Indonesia sangat bergantung pada kinerja Kejaksaan Agung.
Hal ini karena pertimbangan pendirian pengadilan khusus tersebut haruslah disertai bukti-bukti kuat, yang menunjukkan bahwa di negeri ini memang banyak terdapat kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas. "Jaksa Agung harus menyidik dan menemukan dulu bukti-bukti hukum kuat terkait pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia. Tanpa adanya bukti-bukti tersebut, sulit membentuk Pengadilan HAM ad hoc," ujar Haris kepada Republika Online (ROL), Rabu (10/12).
Setelah memperoleh bukti-bukti yang kuat terkait pelanggaran HAM, kata dia, Kejagung selanjutnya menyerahkan data tersebut kepada DPR. Dari situ, kata Haris, barulah DPR akan mengkaji apakah pendirian Pengadilan HAM ad hoc memang dibutuhkan atau tidak. "Jika ternyata memang dibutuhkan maka DPR akan mengeluarkan rekomendasi kepada presiden untuk membentuk pengadilan tersebut," imbuhnya.
Sebelumnya, kata Haris, Komnas HAM sendiri telah menyerahkan laporan mengenai berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia kepada Kejagung. Kendati demikian, dia merasa pesimistis Kejagung bakal menindaklanjuti laporan tersebut. Rasa pemistis itu muncul lantaran Jaksa Agung yang sekarang, HM Prasetyo, memiliki latar belakang parpol sehingga sangat rawan ditunggangi kepentingan politik.
"Karena itulah, sebelumnya KontraS sudah mengingatkan Jaksa Agung agar betul-betul menunjukkan komitmennya terhadap HAM. Salah satunya dengan menindaklanjuti laporan dari Komnas HAM tadi. Jika dalam waktu 30 hari sejak dia menjabat ternyata tidak ada gebrakan, kami minta dia untuk mundur saja," kata Haris.