Rabu 10 Dec 2014 09:30 WIB

Dualisme Partai, Contoh Buruk Perpolitikan Indonesia!

Rep: CR05/ Red: Winda Destiana Putri
Ketua Umum Partai Golkar terpilih Agung Laksono (tengah) bersama Priyo Budi Santoso (kiri) dan Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan) mengangkat tangan bersama usai penghitungan suara pemilihan ketua umum pada Musyawarah Nasional IX Partai Golkar di Ancol, Jak
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Ketua Umum Partai Golkar terpilih Agung Laksono (tengah) bersama Priyo Budi Santoso (kiri) dan Agus Gumiwang Kartasasmita (kanan) mengangkat tangan bersama usai penghitungan suara pemilihan ketua umum pada Musyawarah Nasional IX Partai Golkar di Ancol, Jak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Pangi Syarwi Chaniago mengamati tren dualisme panggung perpolitikan Indonesia, akhir-akhir ini.

Seperti kasus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan saat ini Golkar maupun parlemen yang juga pernah membuat DPR tandingan. Menurut dia, tren dualisme tersebut memang menarik untuk dicermati.

"Saya melihat ini tren yang menarik tetapi itu contoh yang buruk, bukan pendidikan yang baik. Ada apa sebetulnya dengan perpolitikan kita ini," ujar Pangi kepada Republika Online (ROL), Rabu (10/12).

Dia menilai banyak masyarakat yang juga mempertanyakan apa yang salah dalam sistem politik tersebut. "Apa yang terjadi dalam sistem politik Indonesia sebetulnya tidak boleh seperti itu, tidak elok membangun partai dengan cara begitu," kata dia.

Ditambahkan Pangi, citra perpolitikan Indonesia juga sekaligus cenderung sudah rusak di mata publik. Maka tidak heran jika sebagian partai memang telah kehilangan kepercayaan rakyat.

"Ada partai yang jargonnya untuk rayat, tetapi dengan sikap-sikapnya yang cenderung merenggut hak rakyat misalnya, maka tidak heran jika citranya menjadi buruk di mata publik dan jargon yang dimilikinya itu hilang," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement