Selasa 09 Dec 2014 18:48 WIB

Doa di Sekolah Direvisi, MUI: Islam Seperti tidak Dihargai

Rep: C13/ Red: Bayu Hermawan
 Siswa SDN Menteng 1 mengikuti ujian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada hari pertama pelaksanaan Ujian Sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Pusat, Senin (19/5). (Republika/Yasin Habibie)
Siswa SDN Menteng 1 mengikuti ujian untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia pada hari pertama pelaksanaan Ujian Sekolah tingkat Sekolah Dasar (SD) di Jakarta Pusat, Senin (19/5). (Republika/Yasin Habibie)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pimpinan MUI, Luthfie Hakim mengatakan revisi doa di sekolah merupakan tanda kurangnya rasa hormat bagi Islam yang menjadi agama mayoritas.

Menurutnya penggunaan doa secara Islam di sekolah merupakan sebuah wujud penghargaan bagi umat yang paling banyak dianut di Indonesia. "Hal ini menandakan bahwa Islam sepertinya sudah tidak dihargai lagi," ujarnya saat dihubungi Republika Online (ROL) pada Selasa (9/12).

Luthfie menjelaskan, agama Hindu di Bali sendiri mendapat penghargaan yang lebih dibanding dengan minoritas di sana, termasuk Islam. Di Bali, kata Luthfie, masyarakat beragama Hindu memperoleh penghormatan karena kemayoritasnya.

Maka dari itu sebagai agama mayoritas seharusnya Islam lebih dihormati. Namun melihat situasi ini, Luthfie mengaku sangat disayangkan. Menurutnya, lebih baik Mendikbud hapus dahulu kata 'Assalamu'alaikum'.

"Setelah itu, Anies barulah membuat peraturan berdoa dengan memakai bahasa yang umum. Kalau perlu Mendikbud hapus saja agama sekalian," sindirnya.

Menurutnya bukan hal yang tidak mungkin lama-kelamaan akan terjadi seperti itu. Pernyataan Luthfi Hakim ini terkait dengan rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang mengevaluasi tata cara membuka dan menutup proses belajar. Anies menyebut masalah doa di sekolah menimbulkan masalah.

Menurut Anies tentang ada keluhan sejumlah orangtua murid terhadap tata cara dominan agama tertentu dalam proses belajar mengajar. Hal itu membuat siswa penganut agama lain menjadi tidak nyaman.

"Sekolah di Indonesia mempromosikan anak-anak taat menjalankan agama, tapi bukan melaksanakan praktik satu agama saja," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement