REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim reformasi tata kelola migas memgatakan akan memanggil direksi Petral pada Rabu (10/12). Pemanggilan tersebut bertujuan untuk menganalisis kinerja Petral sebagai perusahaan pengimpor minyak Indonesia.
Tim tersebut akan mengkaji dan memberikan rekomendasi tentang apakah Indonesia masih membutuhkan Petral atau tidak. "Pada Rabu (10/12) kami memanggil direksi Petral untuk mengevaluasi dan mengkonfirmasi apakah yang dirumuskan tim ini benar tidak," kata anggota Tim reformasi, Fahmi Radi, Sabtu (6/12).
"Tim Setelah berdiskusi dengan Petral kemudian akan dirumuskan rekomendasi berupa alternatif, bisa saja misalkan rekomendasinya Petral dibubarkan, atau misalkan petral akan dipertahankan tapi ditarik ke Indonesia, " kata Fahmi.
Menurut Fahmi rekomendasi agar Petral ditarik ke Indoneaia salah satunya ggar BPK dan KPK bisa mengaudit Petral secara mudah. Namum, bisa juga tim tersebuy merekomendasikan Petral tetap di Singapura dengan bisnis saat ini, tapi harus ada transparansi kepada publik. "Itu yang kita lakukan," kata Fahmi.
Karena, menurut Fahmi, meski tim reformasi belum menghitung jumlah kerugiannya, Fahmi mengatakan kerugiannya sangat besar. Itu biaa dilihat dari pembengkakan penjualan BBM bersubsidi, akibat mafia migas. "Itukan jumlahnya besar sekali, dan dirugikan kan rakyat tadi," ungkapnya.
"Kemudian, seperti yang terjadi di Bangkalan masalah penyaluran gas, itu mestinya diberikan oleh BUMD, tapi malah berkoalisi dengan mafia migas. Nah yang dirugikan, penjualan ke PLN itu jadi mahal harganya, itulah yang jadi kerugian negara," ungkapnya.
Selain itu, Fahmi menilai, Petral sebagai anak perusahaannya Pertamina yang mengimpor minyak yang di butuhkan Indonesia, ternyata tidak langsung menjual minyak ke Indonesia. "Itu karena disekitarnya banyak trader, yang membengkakkan sehingga harga jualnya tinggi," katanya.