Jumat 28 Nov 2014 21:30 WIB

Kejahatan terhadap Anak di Riau Meningkat 50 Persen

Kekerasan anak
Foto: myhealing.wordpress.com
Kekerasan anak

REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Kejahatan seksual terhadap anak sepanjang tahun 2014 yang direkap Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Riau mencapai puluhan kasus dan meningkat sebesar 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

"Kasus ini terjadi antara lain lebih akibat melemahnya pengawasan orang tua kepada anak selain itu menurunnya rasa persahabatan dan keakraban antara anak dengan orang tuanya,"kata Ester Yuliani, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Provinsi Riau, di Pekanbaru, Jumat (28/11).

Menurut Ester, kejahatan seksual terhadap anak dilakukan oleh orang terdekat, yakni bapak kandung, paman, kakak kandung dan tetangga serta oknum pendidik di sekolah atau di tempat belajar lainnya.

Ia mengatakan, penyebab meningkatnya kasus ini juga antara lain pengaruh tayangan pornografi sehingga mengakibatkan banyak oknum masyarakat yang ingin mencoba dan menerapkan pada korban anak-anak di bawah umur itu.

"Anak-anak sering menjadi korban karena mereka masih kecil, lemah dan tak berdaya sehingga diyakini oleh pelaku mereka tidak akan berani dan takut melapor ke orang tuanya apalagi ketika anak dibujuk, dan diiming-iming uang serta di bawah ancaman," katanya.

Namun, kata dia, penyelesaian kasus ini sesuai prosedur hukum yang berlaku belum memuaskan karena standar operasional yang diterapkan pihak kepolisian dan kejaksaan sering cenderung berbeda. Aparat penegak hukum terkesan belum memahami UU perlindungan anak.

Berdasarkan evaluasi LPA Riau, memang sudah sebagian besar kasus kejahatan seksual terhadap anak yang didampingi LPA untuk di proses secara hukum sesuai UU perlindungan anak, diselesaikan berita acara pemeriksaan (BAP) oleh kepolisian dan selanjutnya diserahkan kepada pihak kejaksaan.

Dalam pemeriksaan kepolisian yang sudah mencapai tingkat P18 dan P19 justru sering dikembalikan oleh pihak kejaksaan ke kepolisian karena dinilai belum cukup bukti dan harus dilengkapi dengan saksi.

"Padahal dalam kasus cabul dan pelecehan seksual dengan korbannya anak-anak jarang sekali ada saksi yang melihat," katanya dan menambahkan kasus kejahatan seksual terhadap anak tidak memerlukan keterangan saksi sebagai salah satu syarat kelengkapan pembuktian.

Sebab saksi korban sendiri yang masih di bawah umur murni memiliki kejujuran yang bisa dipertanggungjawabkan sedangkan alat bukti lainnya bisa dilengkapi dengan keterangan saksi ahli untuk pemeriksaan tekanan kejiwaan oleh psikolog dan dokter jika anak mengalami luka-luka dan lainnya.

Ia menyayangkan alasan pihak kejaksaan yang menolak laporan pemeriksaan P18 dan P19 atas kasus kejahatan terhadap anak.  Penolakan oleh kejaksaan lebih akibat karena tidak ada saksi dan ini jelas membuktikan pihak aparat penegak hukum itu belum memahami UU perlindungan anak.

"Dampak akibat belum tuntasnya penyelesaian kasus kejahatan seksual terhadap anak diyakini ke depan akan makin banyak lagi korban karena pelaku belum mendapatkan efek jera," katanya dan menambahkan ancaman pelaku kejahatan seksual terhadap anak dalam UU Perlindungan Anak adalah belasan tahun penjara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement