REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) untuk mengurangi jam kerja bagi perempuan dua jam dalam sehari menuai apresiasi. Upaya JK ini dinilai sebagai bentuk memperkokoh ketahanan keluarga di mana peran perempuan sebagai ibu sangat mendominasi dalam pendidikan.
Namun, wacana ini masih perlu kajian lebih dalam agar pengurangan jam kerja dapat dirasakan banyak pihak. Sebab, di sektor pekerjaan formal seperti pekerja kantor, pengurangan jam kerja mudah untuk dilakukan.
Sedangkan di sektor informal, wacana ini hanya akan dianggap angin lalu. Sebab, penerapan standar kerja di dua sektor itu sangat berbeda.
Di sektor informal, sebagian besar gaji mengikuti produktivitas pekerjaan. Buruh pabrik misalnya, menerapkan sistem jam kerja 'shift' atau pekerjaan jurnalis maupun tenaga medis yang dituntut siap 24 jam.
Anggota DPR RI perempuan, Ledia Hanifa menilai, butuh kajian lebih dalam untuk menemukan formulasi penerapan jam kerja seperti yang diwacanakan Wapres.
"Menteri pemberdayaan perempuan harus benar-benar mengkajinya, selain itu penerapannya dilakukan secara bertahap," kata Ledia pada Republika, Kamis (27/11).
Wakil pimpinan komisi VIII ini mengatakan pihaknya sangat setuju dengan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan ini. Terlebih, kemajuan teknologi saat ini membuat banyak pekerjaan dapat dilakukan dari rumah.
Hanya saja, harus diakui ada beberapa pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan dari rumah, misalnya di sektor pelayanan publik.
Untuk pekerjaan perkantoran menurut Ledia sangat mudah penerapannya. Tapi juga perlu dibuat aturan tegas jangan sampai karena ada pengurangan membuat penghasilan juga berkurang.
Di sektor pekerjaan buruh pabrik, kata Ledia, harusnya memang ada pembatasan 'shift' kerja. Perempuan lebih baik hanya bekerja pada 'shift' 1 atau 2. Sedangkan pada 'shift' lainnya agar dikerjakan oleh laki-laki.
"Yang justru akan sangat sulit diterapkan yaitu pada pekerja informal serta pekerja medis dan jurnalis," imbuh politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Pemerintah harus berhati-hati untuk merealisasikan wacana ini agar tidak terjadi kesenjangan lebih besar antara pekerja formal dan informal. Sebab, kata Ledia, banyak pekerjaan informal dihitung berdasarkan volume hasil pekerjaannya, bukan dari berapa jam kerjanya.